Sunday, November 16, 2008

Bom di Ruang Keluarga

Cerpen Jimat Kalimasadha

“LIHAT Ibu, anak itu kehilangan kedua tangannya, sekujur tubuhnya terbakar, wajahnya mengalirkan darah, kakinya tinggal satu, dan dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur rumah sakit yang sempit sendirian tanpa ditunggui ayah dan ibunya. Tapi, mengapa anak laki-laki itu tidak menangis?” tanya Linda, gadis berusia sembilan tahun, sambil menatap layar televisi 52 inchi limited edition di depannya.
Pada detik yang lain layar televisi menampilkan sebuah sudut kota yang penuh dengan puing-puing bangunan runtuh. Beberapa mayat manusia terpendam dalam bangkai tembok hotel tersaruk oleh bulldozer. Bagian anggota tubuhnya telah lepas dan membusuk. Orang-orang menutup hidung, bau anyir memenuhi udara. Jeritan tangis bercampur pekat dengan suara mesin kendaraan berat tersebut, darah berwarna hitam bercampur dengan tanah.

Salah satu dari sekian mayat yang tersaruk bulldozer, kata penyiar berita sore itu, adalah ibu dari anak laki-laki yang kehilangan kedua tangannya, dengan sekujur tubuhnya terbakar, wajahnya mengalirkan darah, kakinya tinggal satu, dan dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur rumah sakit yang sempit. Ibunya, jelas-jelas telah tewas dan tertimbun di bawah reruntuhan hotel, sedang ayahnya entah di mana.

“Dia sudah tidak bisa menangis,” jawab Ken, ibu sang gadis, sambil berusaha menekan angka lain pada remote control untuk mengalihkan channel. Tapi semua stasiun televisi menayangkan gambar dan berita yang sama atau, dengan pengambilan angel yang sedikit berbeda.

“Benarkah anak itu tidak bisa menangis?”

“Dia sebenarnya bisa menangis. Tapi, dia sudah tidak mempunyai air mata.”

“Bukankah menangis bisa dilakukan hanya dengan mengeluarkan suara saja?”

“Suara tangisnya juga sudah habis. Dia tidak bisa menyuarakan tangisnya karena terlalu sakit. Air mata anak itu sudah habis. Rasa sakitnya sudah tidak ada terasa. Rasa itu juga sudah habis. Lalu dengan apa dia bisa menangis? Air mata, suara tangis, dan rasa sakit telah berubah menjadi darah yang bercampur dengan tanah,” jawab ibunya dengan emosi ditahan dan keyakinan bahwa jawaban itu sungguh sulit untuk dipahami oleh anak perempuannya.

Ken mendekap putrinya, menutupi bola mata jernih bocah kecil itu dari kilatan cahaya terang bola api yang membentur hotel bintang lima tersebut pada sebuah malam yang gelap gulita diiringi suara menggelegar dan jeritan orang-orang. Peristiwa ledakan itu memang hanya terjadi beberapa detik di layar televisi. Tapi tayangan itu sudah terlalu cukup bahkan melebihi daya imajinasi anak gadisnya. Perempuan itu tak mampu menjelaskan jawabannya sendiri.

Dia menyesal telah membeli pesawat telivisi sebesar white board dengan subwoofer tercanggih dan menghasilkan suara doubly stereo yang mampu menggetarkan lantai dan dinding kamar. Dia merasa tertipu oleh kenyataan betapa di ruang keluarga yang luas, sejuk, berperabot lengkap, dengan dinding berhiaskan lukisan dan foto-foto keluarga dengan latar belakang Tembok Raksasa Cina itu telah menghadirkan teror sedemikian dahsyat bagi anak semata wayangnya.

Ibu muda itu mengutuki perkembangan teknologi. Dia menyumpahi keberhasilannya menjadi orang tua yang memanjakan anak dan melengkapi ruangan dengan fasilitas serba mewah. Dia menyesal anaknya telah menjadi korban kecanggihan teknologi buatan manusia dan dia kini turut menjadi korban para teroris media dalam dunia kecil yang bernama televisi. Dia tidak bisa berkata apa-apa ketika anaknya sedang dilumat dan dikunyah-kunyah oleh dunia kecil itu. Dia tidak berdaya saat imajinasi anaknya dihantam oleh gambar-gambar teror perang, pemboman, pembunuhan, konflik bersenjata, pemerkosaan, penipuan, kebohongan para koruptor, dan, ouu… sinetron-sinetron yang tak mengajarkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.

Jiwa batin anaknya sama dengan anak laki-laki korban pemboman itu, dan juga sama dengan anak-anak lain yang menjadi korban kebiadaban para orang tua dan para teknokrat dengan tekonologi canggihnya. Seperti anak laki-laki itu, Linda juga tak bisa menangis. Ia ingin marah, ingin menangis juga....

“Matikan saja televisinya, ya sayang. Kita membaca komik atau menggambar pemandangan alam saja,” alihnya.

Linda menggelengkan kepalanya. “Jangan Ibu. Aku ingin melihat anak laki-laki itu lagi.”

“Sebentar lagi ayah datang. Kita main di luar, yuk.”

Dengan malas Linda bangun dari duduknya. Ken cepat-cepat mematikan pesawat televisi. Dia senang bisa mengalihkan perhatian Linda. Dia juga sadar tontonan semacam itu bisa memberi pengalaman buruk pada perkembangan kejiwaan anaknya. Tapi berapa banyak orang tua yang bisa mengontrol anak-anaknya ketika menonton televisi. Setiap jam, setiap menit, di antara nyanyian anak-anak, di antara film kartun yang lucu, di antara iklan-iklan, oo, gambar tragedi kemanusiaan itu menyusup demikian cepat dan menyisakan teror yang dalam. Berita-berita tentang korban perang, pembunuhan warga sipil, hancurnya tempat-tempat bersejarah, dan runtuhnya lautan peradaban oleh gelombang kebiadaban, mengalir tanpa henti seperti lelehan timah yang membatu dalam pikiran.

“Ibu, apakah kalau kita merasakan kesakitan yang luar biasa lantas kita tidak bisa menangis dan air mata kita tak bisa keluar?” pertanyaan Linda belum juga habis. Pertanyaan itu masih bersambung-sambung dalam tempurung kepalanya.

“Kita akan merasakan bahwa sakit yang sangat sakit itu tidak lagi terasa sakit.”
“Bagaimana bisa begitu, Ibu?”

“Begini. Pernahkan Linda tertawa hingga mengeluarkan air mata? Linda mungkin mendengar cerita teman yang sangat lucu atau konyol, atau melihat seorang teman yang bertingkah aneh hingga menyebabkan kamu tertawa terpingkal-pingkal? Dalam tertawa itu, kamu kemudian mengeluarkan air mata seperti seseorang yang sedang menangis.”
“Rasanya pernah, deh.”

“Jika demikian, mungkin nggak ya, sebaliknya. Linda merasa sakit yang luar biasa atau sedih yang sangat hebat, sehingga Linda menangis tapi tak mampu mengeluarkan air mata, bahkan tak bisa mengeluarkan suara.”

Anak itu menggelengkan kepala.

“Ibu pernah mengalami hal demikian ketika melahirkan kamu. Rasa sakitnya tak bisa digambarkan. Tapi kamu tidak tahu, bahkan ayahmu saja tidak tahu. Orang-orang hanya bilang, batasan antara sakit dan nikmat itu sangat tipis. Tapi mereka tidak pernah merasakan. Kalau mereka pernah merasakannya, mereka tidak akan melakukan penyiksaan.”
Linda tidak meneruskan pertanyaannya. Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang menggelembung dalam benaknya tapi dia tidak mampu mengutarakannya. Dia belum pernah merasakan kesakitan yang begitu hebat hingga tidak bisa menangis dan tidak mampu mengeluarkan air mata.

Aneh, pikir Linda. Betapa sedihnya anak laki-laki tadi. Ataukah sebaliknya? Anak sekecil itu sudah mengalami penderitaan yang sangat pedih, sampai-sampai dia tidak mengenal batas rasa sakit.

“Mengapa orang-orang dewasa menjatuhkan bom dan melukai anak laki-laki itu? Sebenarnya orang-orang itu ingin mencari apa sih, Bu?”
Ken merasa sulit menjawab pertanyaan anaknya. Dia sendiri juga menanyakan hal yang sama, hanya saja, mungkin dengan bahasa yang berbeda: mengapa demi mempertahankan kekuasaan dan ambisi pribadi mereka mengorbankan orang-orang dan anak-anak tak berdosa?
***

SAMPAI larut malam Linda tidak bisa tidur meskipun dia sudah berusaha memejamkan matanya. Bayangan anak laki-laki yang kehilangan kedua tangannya, sekujur tubuhnya terbakar, wajahnya mengalirkan darah, kakinya tinggal satu, dan dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur rumah sakit yang sempit sendirian tanpa ditunggui ayah dan ibunya itu tidak bisa terhapus dari pikirannya.

Mengapa anak laki-laki itu tidak bisa menangis? Pada malam yang kalut seperti ini, seperti yang dia rasakan, mungkinkah anak laki-laki itu bisa tidur dengan mata terpejam?

Angin malam masuk melalui ventilasi kecil di atas jendela kamarnya. Tapi dia tidak berani membuka gorden jendela itu. Di luar bulan berwarna putih kelabu menyerupai wajah pucat yang tak teraliri darah.

Pikiran Linda tidak bisa lepas dari anak laki-laki itu hingga dia terlelap. Dalam mimpi, anak laki-laki itu seperti pahlawan kecil yang menyelamatkan seorang panglima perang dan terluka parah oleh keganasan peluru musuh. Lalu Tuhan mengirimkan malaikat berbaju putih dan menggendongnya dengan sayapnya yang berkibar-kibar indah. Mereka melintasi awan, mega, pelangi, melewati bulan, bintang-bintang, dan masuk di lapisan langit ke tujuh. Dia turun dari punggung malaikat dan seketika itu dia terpesona oleh pemandangan yang serba indah, serba sejuk, serba gemerlap.

Daun-daun bercahaya seperti lampu merkuri, angin berhembus merdu bagai nyanyian bidadari, dan embun yang menetes di pagi hari menyerupai manik-manik intan putih berkilauan. Air yang mengalir di sungai bawah sana tampak seperti benang raksasa, dibawa oleh layang-layang raksasa, oo, mengapa sungai itu mengalir ke angkasa?
Anak laki-laki itu sangat bahagia. Dia lupa pada sakitnya, lupa bahwa ia sendirian tidak ditunggui oleh kedua orang tuanya. Tubuhnya yang terluka telah kembali seperti sedia kala dan sempurna. Lihatlah! Dia menengok ke belakang, melambaikan tangannya ke arah Linda.

Anak laki-laki itu tersenyum. Dan senyumnya membuat Linda terpesona. Linda membalas lambaian itu. Ia ingin terbang mengikuti anak laki-laki itu. Ia bisa bermain-main dengan bebasnya. Tapi Linda tidak bisa menjangkau. Ia hanya mengerjap-ngerjapkan matanya dan menelan ludah seperti melihat temannya tengah memegang es krim kesukaannya. Begitu inginnya, begitu terpesona!

“Ibu! Ibu! Aku ingin ikut anak-anak laki-laki itu! Nyalakan TVnya. Nyalakan TVnya. Aku ingin ikut dia!” teriak Linda setengah sadar.

Dari kamar tidurnya, Ken tergeragap mendengar jeritan anaknya. Perempuan itu buru-buru membuka pintu kamar tidur Linda dikuti oleh suaminya. Tangan Linda masih melambai-lambai. Wajahnya berpeluh, tangannya berkeringat dingin, dan kedua kakinya masih terbungkus selimut beludru berwarna putih ungu.

Ken mendekap dan menciumi wajah anaknya. Linda belum juga sadar sepenuhnya. “Ibu, aku ingin ikut anak laki-laki itu…” suara Linda terbata-bata.

“Tidak sayang. Kamu mengigau. Kamu bersama ibu.”

Ken tak henti-henti menghibur anak yang sangat ia sayangi dengan segala-galanya. Dia tak tega meninggalkannya tidur sendirian. Semalaman ia tak bisa memejamkan mata. Berita anak laki-laki yang kehilangan kedua tangannya, sekujur tubuhnya terbakar, wajahnya mengalirkan darah, kakinya tinggal satu, dan dia hanya bisa tergolek di atas tempat tidur sempit sendirian itu tidak bisa terhapus dari pikirannya.

Anak laki-laki itu pasti belum juga bisa menangis. Pada malam yang kalut seperti ini, seperti yang dia rasakan, anak laki-laki itu mungkin tidak bisa tidur dengan mata terpejam.

Esok paginya ketika melintasi ruang keluarga yang luas, sejuk, berperabot lengkap, dengan dinding berhiaskan lukisan dan foto-foto keluarga dengan latar belakang Tembok Raksasa Cina itu, Ken menyaksikan pesawat televisi 52 inchi bagai raksasa jahat yang siap menerkam anak semata wayangnya. ***

Patiayam, September 2006

Saturday, November 15, 2008

Surat Cinta di Pucuk Pisau

Cerpen Jimat Kalimasadha


SETELAH membunuh dua anaknya yang masih di bawah usia lima tahun dan istrinya, dia menulis surat cinta lalu menancapkannya di ujung pisau yang masih berlumur darah segar. "Saya sangat mencintai mereka. tetapi kata-kata tak bisa melukiskan besarnya penderitaan yang saya alami. Saya terpaksa melakukan hal ini agar mereka terhindar dari penderitaan yang lebih jauh, jika mereka masih terus hidup bersama saya. Lebih baik mereka menderita lima menit di ujung pisau ini daripa¬da harus menderita se¬urnur hidup," ungkapnya dalam surat tersebut.

"Saya tak ingin hidup lebih lama lagi. Cukup sampai ketika saya bisa membunuh sebanyak mungkin orang yang secara indah menginginkan kebahagiaan abadi. Bunuhlah saya ....

Tetangga dekatnya mengetahui pembunuhan itu dua hari setelah tercium bau busuk yang masuk ke dalam kamarnya. Surat cinta itu ditemukan di antara mayat anaknya yang tewas telentang dengan dada kiri bagian bawah terluka. Darah telah mengering di atas seprei dan sebagian merembes ke dalam kasur. Wajah dua bocah itu tersenyum, sama sekali tidak menggambarkan penderitaan. Sementara mayat istrinya terbaring di bawah pintu dapur, juga dengan luka yang sama.
"Padahal satu minggu yang lalu dia berjanji naen¬gajak anak dan istrinya makan malam di restoran sepulang dari kerja. Dia juga mengatakan sangat rindu kepada anak-anaknya jika seharian tidak bertemu dan semakin sayang kepada mereka," kenang Bu Nafik di depan suaminya.

"Apa yang telah terjadi pada diri Songa?"

Pertanyaan tersebut tak pernah terjawab oleh pasangan suami istri itu. Barangkali Songa baru stress. Barangkali dia tersinggung oleh perkataan istrinya. Barangkali bisnisnya sedang merugi. Barangkali pacar gelapnya menuntut untuk dikawini. Barangkali juga ia putus asa menyaksikan pertikaian para elit politik yang tak pernah selesai. "Nasib telah men¬gawal setiap kehidupan. Semoga arwah anak dan istri Songa memperoleh tempat yang damai," bisik Bu Nafik berdoa.

Tak hanya Bu Nafik, orang-orang Kampung Ping¬gir itu juga tak paham jalan pikiran Songa. Baru kali ini ada seorang laki-laki membunuh anak dan istrinya karena dia sangat mencintai mereka. Kampung yang bisik, gerah, kotor, dan sarang pelarian segala macam sampah kehidupan itu pun gempar. Ya, baru kali ini terjadi pembunuhan yang dilampiri dengan surat cinta.
"Kira semua harus waspada terhadap Songa. Saya kira ini bukan surat cinta biasa yang dikirimkan kepa¬da anak istrinya. Ini lebih tepat disebut surat ancamaan," ujar Gembo.
"Secepatnya kita harus tangkap Songa," jawab Kombel.

"Ya. Baca ini. Dia mengancam akan membunuh sebanyak mungkin orang yang secara indah menginginkan kebahagiaan abadi."

"Apa maksud katimat ini?" tanya Rampi.

"Goblok. Masa gitu aja gak tahu. Kalimat itu intinya Songa mau bunuh orang lagi. Aku tak peduli dengan omongan gila Songa. Kita harus tangkap karena dia mau bunuh orang dan berani mengotori Kampung Pinggir dengan darah.”

"Kira harus tangkap sebelum kita bermimpi dibunuhnya."

"Bukankah akan lebih baik jika kita serahkan masalah ini kepada polisi?" usul Rampi serius.

“Ya. Tapi masihkah kita percaya kepada polisi?”
***

SAMPAI hari ini tak seorang pun yang tahu ke mana Songa melarikan diri. Tak seorang pun yang mengetahui tempat persembunyian laki-laki berwajah tirus berjambang tebal itu. Dia hilang bagai ditelan kegelapan jurang Tartarus yang hitam dan sangat dalam. Siapa pun tahu Songa tak pernah seperti ini. Dia orang yang mudah dicari, meskipun dia sering pulang malam. Aneh.

"Tak ada yang aneh dengan Songa. Saya yakin dia tidak menghilang. Dia tidak bersembunyi bahkan tidak ke mana-mana. Dia berada di sini," kata Rasuk pagi-pagi sekali. Pemuda ini berbicara dengan wajah sumringah.

"Di sini? Jadi selama ini dia berada di kamarmu? Kau sembunyikan, ya? Jangan sekali-kali melindungi buron, Rampi," gertak Kombel. "Katakan di mana dia?"
"Tadi malam dia bersama saya, tinggal di dalam mimpi saya. Dan sungguh saya merasa senang telah menjadi tempat bagi seorang manusia yang membunuh demi kebahagiaan abadi manusia lain. Se¬dangkan dia sendiri hidup dari lorong mimpi satu ke lorong mimpi yang lain. Alangkah bangganya ji¬ka selama tidur saya bermimpi dan bisa bersamanya."

"Kama sudah gila. Kamu sedang kemasukan setan."

"Tidak. Sama sekali tidak. Tapi, seandainya kamu bilang seperti itu, saya juga tidak peduli. Bagi saya bertemu dengan Songa dalam mimpi adalah kebaha¬giaan sekaligus kemewahan."

"Sungguh tidak masuk akal."

"Bagi saya kebahagiaan adalah pertemuan saya dengan Songa. Bertahun-tahun saya mencari kebahagiaan. Setiap orang yang katanya bisa mendatangkan kebahagiaan sudah saya coba datangi. Namun tak satu pun yang benar-benar bisa membuktikan omon¬gannya. Saya nyaris putus asa. Sampailah saya pada kesimpulan bahwa kebahagiaan adalah garis cakrawala. Ada. Tidak ada. Kekosongan. Kesia-siaan yang tak berujung..."

"Ah, bicaramu sok filsafat. Omong kosong. Setiap hari kamu bilang bahwa kamu selalu bahagia. Kamu lupa dengan kata-katamu sendiri. Bukankah kebahagiaan ada di dalam botol minuman keras, di kamar ciblek, di bilik sempit perempuan nakal, di bawah ketiak waria yang amis, dan di tempat judi yang setiap malam kau kunjungi? Munafik!”

"Itu bukan kebahagiaan abadi, Kombel. Itu bukan kebahagiaan yang sebenarnya aku cari," sahut Rasuk berapi-api. "Songa telah memberikan pencerahan. Dan saya yakin dia sedang membawa kabar yang indah. yakni kematian."

Kombel tertawa sinis. Dia tidak percaya dan memang tidak pantas kepada Rasuk. Setiap orang memang mati, tetapi tidak setiap orang akan bahagia dengan kematian itu. Kalau saja kematian menjanjikan kebahagiaan, mengapa selalu saja ada orang yang takut mati?

"Kehidupan, kata Songa, lebih sederhana dari telenovela. Oleh karenanya kita tidak usah membikinnya bertele-tele, berulang-ulang, dan seolah-olah berliku-liku. Mari kita meringkas hidup agar kita sampai pada pintu gerbang kebahagiaan abadi. Mari kita buat monumen kematian yang indah agar semua orang ingin mendatanginya,” ujar Rasuk seperti seorang khotib berapi-api.

Rasuk terus berbicara tentang kematian Yesus, tentang tokoh Prometheus, sang dewa pencuri api dalam Mitologi Yunani yang kematiaannya mengabarkan kebahagiaan untuk dirinya dan umat manusia. Rasuk terus berbicara, hingga ia kehabisan suara…
***

BENAR juga Rasuk mati esok harinya. Mayatnya ditemukan di atas tempat tidur dengan dada kiri bagian bawah ada luka menganga.. Darah segar masih basah di atas seprei bergambar kartun Shinchan. Masyarakat Kampung Pinggir kem¬bali gempar. Seperti kejadian sebelumnya di dekat mayat Rampi tergeletak pisau dengan selembar surat cinta.

"Saya sangat mencintai Rasuk. Ttiapi kata-kata tak bisa melukiskan besarnya penderitaan yang saya alami. Saya terpaksa melakukan hal ini agar Rasuk terhindar dari penderitaan yang lebih jauh, jika dia masih terus hidup bersama saya. Lebih baik dia menderita lima menit di ujung pisau daripada harus menderita seumur hidup," ungkap surat tersebut. "Saya tak ingin hidup lebih lama lagi. Cukup sampai ketika saya bisa membunuh sebanyak mungkin orang yang secara indah menginginkan kebahagiaan abadi. Bunuhlah saya..."

Persis! Dapat dipastikan ini surat Songa. Dan dengan demikian si pembunuh Rasuk adalah Songa. Tetapi di mana dia sekarang? Kejadian yang lama tak boleh terulang lagi. Tetapi siapa yang bisa menghen¬tikan? Ketika tubuh Rasuk diautopsi jantung pemuda itu hancur berantakan.
"Ini harus dihentikan, sebelum semua orang Kampung Pinggir mati dibunuhnya"' teriak Kombel.

"Siapa yang bisa menghentikan? Selama masih ada orang yang tidur dan bermimpi, Songa tak bisa kita cegah. Selama masih ada orang yang mencari kebahagiaan abadi, Songa akan tetap melakukan pembunuhan dengan menulis surat cinta di pucuk pisau. Semakin banyak orang mendambakan kebahagiaan abadi, akan bertambah pula koban yang jatuh,” jawab gembo.

“Satu-satunya cara kita harus tangkap Songa. Kita harus bisa bunuh dia. Lebih baik kita cari dia sampai ke liang semut daripada kita melarang tidur dan bermimpi warga Kampung Pinggir.

"Tidak bisa."

"Bisa. Dan harus bisa.
Gembo tertawa. Tawa yang menggambarkan seorang jagoan yang panik, kalah dan kehilangan cara mengalahkan lawan. Keangkuhan yang selama dia pupuk subur dalam hatinya, tiba-tiba lumer begitu saja.

"Kita serahkan kepada aparat.”

"Itu bukan cara kita. Kita sudah yakin orang-orang di sini bahwa kita punya hukum sendiri. Kalau kita serahkan kepada aparat, itu nama bukan mencari keadilan keadilan. Lagi pula, apakah masih ada keadilan di negeri ini?" tanya Gembo.
"Serahkan kepada penguasa saja."

"Sudan lama kita juga tidak punya penguasa. Sekarang penguasa itu bernama kita- Kita ini penguasa sah. Kombel."

Belum selesai mereka berdebat. tiba-tiba Pak Nafik yang mengabarkan istrinya juga tewas dengan dada kiri sebelah bawah terluka.

Mereka terperanjat. Wajah mereka nampak pucat. Mereka bahkan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dalam batin mereka berkecamuk kecemasan. Jangan-jangan sebentar lagi mereka yang menjadi giliran berikutnya.***

Bukit Patiayam

Thursday, November 13, 2008

Perpisahan Dengan Senja

Cerpen Jimat Kalimasadha

SENJA yang selalu tersuruk dalam kebisuan malam tak pernah dia lepas dengan sia-sia. Perpisahan dengan senja menjadi saat paling penting, sebab ia merasa jangan-jangan esok hari tak pernah bisa lagi bertemu dengan senja untuk selama-lamanya. Hanyalah senja yang bisa ia nikmati dengan seluruh indra dan jiwa sambil duduk menghadap ke barat di depan pintu loteng rumahnya setelah mandi sore dengan air hangat yang direbuskan oleh anak perempuannya. Senja, ia selalu berpikir begitu, adalah batas yang tak pernah bisa ia pahami.

Warna emasnya memantul di atas daun dan ranting pohon jati, menyepuh batu cadas di lereng bukit, menyiram langit dengan cahaya gemilang merah kekuning-kuningan, lalu berangsur-angsur menghitam. Hitam itu berubah gelap, dan gelap itu menjelma kelam. Benarkah malam selalu ditandai dengan hitam, gelap dan kelam? Dan senja yang ia tunggu sepanjang siang selalu tak berdaya menembus kerudung malam dan meluruh begitu saja, pelan-pelan namun pasti. Pada detik terakhir perpisahannya dengan senja selalu ia meneteskan air matanya.

“Mengapa aku mencintainya lebih dari yang aku punya. Bukankah mencintai yang berlebihan seperti ini justru bisa membunuh diri sendiri,” kalimat itu pernah ia ucapkan, ketika ia menyadari suaminya telah berselingkuh dengan wanita malam, bernama Maria (32 tahun). Tapi itu dulu. Waktu itu suaminya belum begitu terhanyut dalam dekapan Maria. Ia masih yakin lelaki itu akan kembali kepada dirinya dan meninggalkan wanita yang tak pernah berhenti ia sumpah serapahi sepanjang siang dan malam.

Ia sering berbicara dengan dirinya sendiri, di manakah sebenarnya batas-batas mencintai seorang lelaki. Ia mencintai dengan seluruh perasaan dan pikiran. Tetapi cintanya terhadap lelaki yang telah menjadi suaminya selama dua puluh tahun itu tak bisa ia genggam dengan utuh. Lelaki itu lepas belaka seperti seekor ayam jago diterkam biawak pada saat usianya menjelang tua, ketika seorang anak perempuannya sudah mentas, sudah berkeluarga dan memberinya cucu.

“Aku telah membuat kesalahan. Mengapa aku mencintainya dengan seluruh perasaan dan pikiran?” tanyanya. “Aku menyesal mengapa aku ingin mencintainya dan memilikinya.”
Maria hanya seorang wanita malam. Apa sih yang menarik dari seorang wanita macam ia? Wanita yang hanya dapat melewati malam dengan keremang-remangan dan selebihnya adalah gelap dan kelam. Kelam! Wanita sampah yang memungut sisa-sisa harga dirinya di kasur penginapan murahan, di gelas bir yang mengkristalkan kemabukan dan keringat nafsu yang membusuk di sela-sela rambut ketiak. Benarkah laki-laki mencintai wanita hanya karena penampilan seksualnya? Ah. Tapi wanita yang selalu duduk di tepi senja itu hanya menduga dan tak pernah menemukan jawaban yang sesungguhnya.

“Songa benar-benar telah meninggalkan aku dan anak cucunya,” gumamnya lirih.
Senja berkilat merah membersit di kaca nako. Bukit jati yang berhadap-hadapan dengan lotengnya membentuk siluet aneh di lereng sebelah timur sementara awan berbentuk sisik-sisik ikan itu tersaput oleh warna kemilau menyemburatkan garis-garis cahaya yang meredup. Senja memang selalu menyimpan rahasia dan tak pernah ia pahami seluruhnya sebab malam dengan warnanya yang hitam kelam selalu lebih cepat datang dari yang diinginkan. Pada detik-detik terakhir perpisahan dengan senja, ia tak kuasa menahan air mata.

Garis-garis cahaya yang melesat seperti panah akhirnya juga harus menyerah kepada malam. Sorot mata Songa yang dulu menyerupai anak panah itu akhirnya juga luntur oleh aliran pesona wanita malam. Kenapa? Ya, kenapa? Matahari juga tak pernah bisa menaklukkan jari-jari malam yang jahanam itu. Malam selalu melukai perasaannya dengan pisau hitam yang disepuh oleh kilauan senja dan memuncratkan darah kebencian pada cinta, pada lelaki bernama Songa, pada wanita malam bernama Maria, dan pada malam itu sendiri yang selalu hitam, gelap dan kelam. Kenapa kehidupan malam selalu ia rasakan lain dan menyebabkan hidupnya terlunta-lunta? Ia merasakan malam sebagai sebuah dunia yang kejam dan menguakkan kenangan yang sakit dan menyakitkan.

“Seandainya Tuhan tidak menciptakan malam, aku mungkin tidak akan kehilangan kedua orang tuaku pada usia yang masih sangat muda, tidak akan kehilangan Dikky, adikku yang sangat kucintai, dan tidak kehilangan suami yang sangat aku sayangi...
Malam membuatku tak bisa tidur dengan tenang, membawaku tak bisa menikmati mimpi indah, merenggutku hingga tak bisa berhenti untuk tidak menghujat,” teriaknya dalam hati. Malam telah menjadi pertanda buruk dan ia sumpahi dengan geram.

Wanita yang duduk di depan pintu loteng rumahnya itu mengenang sambil menitikkan air mata. Suatu malam gerimis ketika senja baru saja luruh dan mengabur dari kaca belakang VW yang dikendarai oleh ayahnya. Lampu-lampu mobil, baliho, billboard reklame di sepanjang jalan raya pantura mulai menyala. Ayah, ibu, dan si kecil Dikky, tiga puluh tahun yang lalu, pulang dari resepsi pernikahan kenalan ayahnya di Pemalang. Memasuki kawasan Hutan Roban, gerimis rintik-rintik berubah menjadi hujan deras. Jalanan berkabut, jarak padang semakin terbatas, dan entah kenapa: lampu mobil mendadak padam dan kecelakaan maut itu tak bisa dihindarkan. Hanya itu yang ia ingat selain kematian ayah, ibu, dan Dikky, ketiga orang yang sangat ia cintai lebih dari segala yang ia punya. Ia baru berusia 10 saat itu, lalu, sebagai anak yatim piatu ia dibesarkan oleh pamannya sampai lulus SMA.

Usia 20 ia dinikahkan dengan Songa, lelaki baik-baik, lima tahun lebih tua, tempat ia menyandarkan hidupnya, pengganti orang tuanya, pelabuhan cintanya, teman hidupnya, pasangan hidup untuk meneruskan keturunan keluarganya, penerus pohon sejarah hidupnya, meskipun ia tak bisa benar-benar melupakan kekejaman malam yang telah membentuk kenangan buruk dalam hidupnya. Setidaknya-tidaknya selama hidup bersama Songa, ia merasa tidak sebatang kara. Ia sangat mencintai lelaki itu, sebab hanya kepada lelaki itu ia bisa mengalirkan gairah dan semangat mencintai. Memang hanya kepada lelaki itu. Songalah, satu-satunya lelaki yang paling berhak atas cintanya! Songalah laki-laki yang paling lama ia miliki.

Akan tetapi, penyesalan selalu datang terlambat. “Lelaki memang tak perlu dicintai dengan segenap hati dan ketulusan,” ia ingin mendamprat dirinya sendiri.
Kini ia menjadi wanita yang paling membenci malam. Malam telah benar-benar mengantarkan dia ke dalam kesendirian. Malam telah menyebabkan dia tak bisa membedakan antara kesendirian dan kesunyian, cinta dan kehilangan, kesedihan dan tangis, air mata dan kepedihan. Semuanya datang dan pergi pada saat yang sama, yakni ketika selubung malam membunuh kemilau senja, dan senja menjadi batas perpisahan yang teramat memilukan.

“Pada akhirnya akulah korban malam yang paling celaka. Akulah wanita yang terbunuh oleh rasa sepi. Tak ada lagi yang datang padaku, mendekapku, menyatakan sayang dan cinta. Aku merasa sebatang kara, seperti saat ditinggalkan oleh ayah, ibu, dan Dikky adikku. Kegelapan malam memang tidak mau mengerti diriku, hidupku, dan nasibku. Tidak mau mengerti dan tidak bisa dimengerti. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi dan tidak dimiliki siapa-siapa lagi. Rasa-rasanya sepi itu pasti bakal mencungkil dengan pedih dan perih dan menggigilkan batin,” keluhnya.

Songa, adakah kau pernah merasakan ini semua?
***

SUATU hari ia duduk sendiri di antara perbatasan senja. Sayup-sayup ia mendengar deru angin yang membawa gemuruh malam di antara daun-daun jati menghitam. Senja yang terbenam itu menjadi perpisahan syahdu. Ia menangis tapi ia tidak tahu mengapa harus menangis. Ia tidak tahu apakah tangis dan air mata masih memiliki makna. Sebab, tangis tak akan bisa merubah apa pun. Tangis tak bisa mengembalikan Songa dari pelukan Maria. Tangis tak akan dan tak pernah bisa membunuh kesepian dan kesendiriannya. Tak ada bedanya ia menangis dan tidak menangis. Ia meneteskan air mata demi tangis itu sendiri yang memang ingin mengalir seperti peristiwa alam biasa.

Ia sebenarnya tidak ingin berpisah dengan senja. Mestinya senja tak harus tenggelam dan menjelma malam yang menikam. Seharuskah ia tidak usah cemburu kepada Songa, yang pada malam-malam cerah seperti ini bermesraan dengan Maria, berdekapan erat, bercumbu dengan sangat sophisticated hingga bermandi keringat dalam selimut dingin yang penuh gairah. O, malam jahanam, sebegitukah engkau menggoda perasaanku hingga aku benar-benar lumpuh dan mati menggigil. Ia lelah menghadapi pertempuran dan gempuran perasaannya sendiri.

“Apakah Songa masih melakukan kebiasaannya seperti saat-saat indah dulu: memutar Still Loving You dari Scorpion untuk mengiringi ritual percumbuannya? Jika itu kalian lakukan, o, sungguh bangsat, kau Songa! Bangsat kau Maria!” bibirnya bergetar, tapi tak sepatah pun kata keluar dari mulutnya.

Malam terus bergerak lamban. Bayangan-bayangan berkelebat dalam pikirannya semakin mendesak-desak. Suara burung hantu dari bukit di seberang kamar lotengnya meyakinkan betapa malam adalah selubung misteri yang menggelisahkan.

“Aku sangat tak pantas mencemburui burung hantu itu yang selalu wajahnya lebih berseri-seri dengan bulu dan sayapnya terbalut oleh merahnya darah setelah membunuh mangsanya di bawah pantulan rembulan berwarna keperakan,” ia berusaha memejamkan mata, namun tak pernah bisa tidur. Ia ingin bisa seperti burung hantu, menyongsong malam dengan seluruh kegairahan hanya karena akan bertemu dewi malam untuk menumpahkan kerinduannya.

Tapi pada sisi yang lain ia sadar bahwa burung hantu pun juga senasib dengannya. Ketika pagi hari datang dengan cahaya keemasan menyingsing dari arah fajar, burung hantu itu pasti merasakan hal yang sama. Dengan sayapnya yang lunglai dan mata yang kehilangan ketajamannya ia harus pulang untuk menunggu kembali datangnya malam dan sang bulan sambil menyumpahai matahari.

Jadi apa pun alasannya, ia memang tak senang atas kehadiran malam seperti halnya burung hantu membenci siang. Malam selalu merampas keindahan senja yang tak pernah berhenti ia kagumi dan cintai sepanjang hari dan sedalam cinta yang ia punya. Tapi malam barangkali tidak sekedar gelap dan kelam. Ada rahasia yang tak pernah mampu ia pahami. Seperti Maria yang selalu ia sumpahi, seperti Songa yang selalu ia rindui dan seperti senja yang selalu ia cintai. Mengapa semua ini harus ada?**

Patiayam-Kudus, Juni 2004

Wednesday, November 12, 2008

Kehamilan Anggur

Cerpen Jimat Kalimasadha

Belakangan ini saya merasa seperti punya musuh. Perasaan saya seperti berperang. Sudah beberapa hari saya sering memikirkan penyebab kegelisahan ini. Tapi entahlah. Pikiran saya dikejar-kejar oleh sesuatu yang tidak jelas. Lebih dari seratus kali saya memejamkan mata, tapi sedetik pun saya tidak bisa tidur. Kamar yang sebelumnya terasa nyaman, tiba-tiba berubah menjadi lorong yang pengap dan menakutkan.

Telah saya coba untuk memahami kekalutan ini. Sudah! Dan, saya pikir-pikir, ya, saya pikir, musuh saya adalah musik dan jendela. Rasanya tidak masuk akal tapi pikiran saya selalu ke situ. Dua hal itu yang menyebabkan saya bertempur dengan kegelisahan. Kaset dan CD musik-musik klasik karya Beethoven, Mozart, Vivaldi, dan sejenisnya itu yang menjadi musuh saya.

“Kau tidak boleh mendengarkan musik lain selain musik-musik ini,” suruh Sonil, suami saya, beberapa hari lalu sambil melempar kaset Build Your Baby’s Brain yang berisi album klasik karya Mozart. Dia memutarkan Sonata for 2 Pianos dengan senyum yakin bahwa janin yang saya kandung ini kelak lahir menjadi bayi yang cerdas. Hanya dengan mendengarkan musik klasik? Ah, omong kosong, Sonil. Omong kosong.... Kau salah paham. Kau salah membaca.

“Kau pikir hanya musik klasik itu yang bisa membuat bayi dalam rahim saya ini bisa cerdas?”

“Musik yang selama ini kau dengar adalah musik orang-orang bodoh dan berselera rendah,” bantahnya. “Musik rock. Itu bukan musik orang hamil. Musik orang-orang tak bermoral, orang-orang yang tidak punya aturan. Saya tidak rela bayi dalam rahimmu kau tindas dengan musik murahan seperti itu.”

Mengapa Sonil tiba-tiba berubah brengsek. Setiap hari ia membeli kaset dan CD album-album klasik. Puluhan kaset dan CD yang berisi hampir lima ratus lagu-lagu klasik berserakan di kamar tidur. Sedangkan semua kaset yang berisi lagu-lagu kesayangan saya, ia masukkan ke dalam tas koper dan ia taruh di atas rak buku yang paling tinggi. Tentu saja dengan perut membuncit seperti ini mustahil saya dapat mengambilnya dan memutarnya kembali.

Kurang ajar kau, Sonil. Bukankah dulu kita pernah bersepakat sebelum memutuskan untuk menikah, bahwa kau tidak akan mencampuri tentang selera musik saya. Kau suka membaca dan menyendiri, aku suka musik rock dan puisi.

“Ya. Kita bisa saling menghormati, Ken,” katamu saat itu. “Bukankah perkawinan ibarat membangun monumen dari segala yang berbeda?”

Begitu manis. Tapi sekarang semua itu bullshit. Buktinya, kau larang saya mendengarkan musik rock kesukaan saya. Sudah bertahun-tahun saya tidak bisa mendengarkan musik lain, kecuali musik rock. Semua lagu-lagu kesayangan saya kau penjara dalam koper. Kau telah menyiksa saya. Kau, secara psikologis, telah melakukan pembunuhan terhadap istrimu sendiri. Kau telah menghadirkan musuh besar dalam pikiran saya.

Tidakkah kau mengerti, jika saya merasa mempunyai musuh besar saat hamil seperti ini, sama artinya kau sedang mempersiapkan seorang tentara dalam rahim saya untuk berperang melawanmu. Siapkah kau jika bayi dalam kandungan saya ini tumbuh menjadi manusia cerdas, lalu akan menantangmu untuk bertempur? “Saya kira kau telah terlalu banyak membaca dan menyendiri. Kau terlalu kagum dengan hasil penelitian Dr. Frances H. Rauscher dari University of California yang menemukan bahwa rata-rata kecerdasan anak akan meningkat 8 sampai 9 poin setelah mendengarkan Sonata for 2 Pianos karya Mozart. Berulang kali kau mengatakan itu. Padahal itu hanya trik murah dalam strategi menjual kaset.”

Sonil, kau tidak pernah mendengarkan lagu Toto yang berjudul Don’t Chain My Heart. Namun, sekarang ini kau telah merantai perasaan saya dengan sangat sempurna. Adakah, kau ingin balas dendam?
***

Semenjak kehamilan saya berusia tiga bulan, terdapat perubahan dalam susunan kamar tidur. Jendela kayu yang menghadap ke barat, ke arah bukit di seberang sungai kecil itu ditutup rapat dengan tembok. Jendela itu sekarang di pindah ke dinding sebelah timur, menghadap ke jalan kampung yang lebih ramai. Dengan gordin berwarna putih, saya merasa Sonil telah membuat saya sering mual dan muak.

“Untuk apa?” ketika itu Sonil mengulang pertanyaan saya dengan nada sinis.

“Sederhana, Ken. Jendela itu saya hadapkan ke arah timur agar setiap pagi kau memperoleh sinar matahari cukup. Guru TK kita dulu sering bilang, sinar matahari pagi sangat bagus untuk kesehatan tubuh. Dan tentu saja juga bagus untuk janin yang kau kandung.”

“Bohong. Saya tidak sebodoh itu.”

Saya menarik nafas. Sebel. Tidak pernah saya membayangkan hal-hal seperti ini. Hijau pepohonan di lereng bukit kecil itu, ranting-ranting sonokeling yang digesek oleh angin, gemericik air kali yang merdu, dan kecipak ikan lele di kolam dekat sungai itu sudah tidak bisa saya nikmati sambil duduk di jendela dengan mengangkat kaki dan baca puisi.

Jendela sudah terlanjur tidak bisa saya pisahkan dengan lereng bukit, angin, dan kecipak ikan lele yang telah memberi sensasi unik dalam perasaan saya. Jendela dan hijau bukit tak pernah berhenti menghadirkan puisi. Jendela dan angin selalu mengalirkan musik rock dengan irama yang penuh ekstase menghujam ke labirin-labirin jiwa. Ya. Musik dan jendela telah menjadi bagian paling ritmis dalam kehidupan saya.
Tapi, mengapa Sonil tidak paham semua ini dan memisahkan keduanya justru ketika saya sedang hamil. Kejam. Kau jahat sekali, Sonil! Mana mungkin saya mempercayai alasanmu yang demikian simpel?

“Saya sangat mencintaimu, Ken. Termasuk juga anak yang berada dalam rahimmu itu.”
“Tidak. Saya tidak percaya. Saya yakin kau memiliki alasan khusus melakukan ini semua. Dan apa pun alasanmu, kau telah menyebabkan saya seolah-olah mempunyai musuh besar.”

Dia hanya tertawa. “Bukankah kehamilanmu juga telah menyebabkan saya seolah-olah mempunyai musuh besar? Kehamilanmu tidak berbeda dengan sebotol anggur yang kau sediakan untukku dengan dua tujuan. Pertama, kau biarkan saya mabuk dalam kebahagiaan yang melayang-layang. Kedua, setelah itu kau bisa dengan leluasa menarik pisau dan mendaratkannya tepat di kemaluan saya.”

“Sonil, Sonil,” saya ingin tertawa mendengarkan argumentasinya. “Selama ini kau adalah suami yang baik. Sangat baik. Tapi rupanya kau terlalu banyak membaca novel karya Sidney Sheldon. Kau juga terlalu banyak menyendiri sehingga imajinasimu membentuk belantara hutan gelap. Pikiranmu telah dipenuhi oleh teori-teori, teracuni oleh pikiran-pikiran absurd.”

“Semua terjadi karena kau telah menciptakan sistem dalam keluarga ini. Kau telah merasa dirimu mempunyai kekuasaan untuk mengatur cara berpikir di dalam kepala saya.”

“Oh. Telah terjadi salah paham di antara kita. Saya hanya ingin lebih perhatian kepadamu. Tak ada maksud ingin mengaturmu, apalagi membunuhmu. Tak ada keinginan untuk mengontrol pikiran-pikiranmu atau mencampuri ideologimu. Sejujurnya, saya hanya menyukai musik rock dan jendela. Sederhana, bukan? Musik rock membuat perasaan saya lebih tenang dan jendela itu mampu menghadirkan puisi yang membuat hati saya lebih tentram. Tidak lebih dari itu. Saya hanya memerlukan ketenangan dari lingkungan ini agar kehamilan saya baik-baik saja,” saya merasa air mata tak bisa saya tahan.

“Cobalah untuk mengerti.”

“Kau benar. Seorang yang memiliki selera seni, dia akan tumbuh menjadi pribadi yang sentimentil dan pejuang kebebasan yang tangguh dan jujur. Mari kita lihat bersama, apa yang selama ini telah kau sembunyikan di balik kejujuran nuranimu itu. Benarkah kau hanya membutuhkan musik dan jendela, irama drum yang menghentak berdentam-dentam dan sebuah puisi yang mengalir bersama angin? Tapi saya melihat lain. Karena itu saya mempunyai alasan khusus untuk memisahkan kau dengan musik dan jendela,” lanjutnya. “Bukan. Bukan musik dan jendela, melainkan antara kau dengan kecipak ikan lele dan kolamnya.”

Tiba-tiba saya merasa ada petir menyambar dan meledak dalam dada saya. Apa? Antara saya dengan kecipak ikan lele dan kolamnya? Ini pasti bukan teori Sonil. Ia telah mengetahui sebuah kenyataan. Ini sebuah bom waktu yang pasti akan meledak pada saatnya. Sekarang musuh itu semakin nyata dan perang tentu akan berlangsung segera. Muka saya mungkin merah padam, dan Sonil mengetahui kegugupan saya.

“Ayolah mengaku saja dan saya akan memahami keinginanmu. Kau tak usah bertele-tele untuk mengatakan fakta yang sebenarnya. Selalu ada ruang untuk kembali karena kita adalah kesepian yang terus-menerus berputar untuk menemukan tempat. Kita memang berbeda, tetapi kesepian selalu berwajah sama,” saya merasa ucapan Sonil menembus hati saya. Brengsek, kau Sonil. Lagi-lagi saya tidak berkutik di depanmu. Lagi-lagi saya kalah cerdas denganmu. Seperti pencuri tertangkap, saya mempunyai tanggung jawab untuk mengaku.

Saya mengangguk lembut.

“Berapa kali kau melakukannya dengan Sonya, yang tak lain adalah adik iparmu sendiri?" tanyanya menyelidik.

Sudah saya duga pertanyaan itu akan keluar dari bibir Sonil. Tapi tidak! Sekalah apa pun saya tidak akan menceritakannya kepada Sonil. Saya tidak akan menceritakan
peristiwa di bibir kolam bersama Sonya di antara kecipak ikan-ikan lele yang membuas pada malam hari. Rembulan yang redup, awan yang membayang membentuk siluet hitam muda pada air kolam, angin yang mendesau mengalirkan hawa dingin, tetapi membuat darah kami semakin membara.

“Sudah sepantasnya kalau kau hamil, Ken. Delapan tahun kau berusaha untuk memiliki seorang anak dari rahimmu sendiri,” suaranya terdengar pedih. “Kelak kalau bayimu lahir, biarkan saya menjadi ayahnya agar saya bisa memahami kekalahan ini.” ***

Patiayam, 15 Maret 2003

Tuesday, November 11, 2008

Pelor Kebosanan

Jimat Kalimasadha

DIAM-diam tatapan mata itu seperti menikam.
Sekujur tubuh saya dijalari oleh suatu keanehan. Saya tidak mengerti kenapa lelaki kurus itu menatap saya begitu lama. Padahal, sebelumnya saya tidak pernah mengenal dia. Bahkan melihat pun barn pertama kali ini. Dan tatapan mata itu adaalah pelampiasan rasa rindu yang tertimbun berpuluh-puluh tahun.

"Kau adikku," katanya dingin.

Dia mendekati dan duduk di samping saya, di bangku panjang tempat menunggu bus. Ter¬minal semakin tenggelam dalam keriuhan orang-orang.

"Tunggu dulu, siapa Anda?' saya memotong dengan pertanyaan curiga. Dia hanya tersenyum. Menggeser tubuhnya dan men¬gibaskan rambutnya yang sepundak. Dia kembali menatap saya.

"Kau seperti adikku," ulangnya dengan suara yang makin dingin. Aku rindu sekali setelah bertahun-tahun tidak berjumpa den¬gannya."

"Aku tidak pernah punya urusan dengan ke¬cengengan orang lain."

Saya membuang muka, berusaha menepiskan segala perasaan yang memenuhi pikiran. Kecemasan dan kekalutan bercampur baur.

"Aku menyesal sekali. Namun sedikitpun aku tidak gemetar ketika menghunus pedang peninggalan ayah dan menebaskan ke batang lehernya."

Oh! Tanpa sadar saya menutup wajah de¬ngan telapak tangan. Tatapan mata lelaki itu kembari meluncur dengan kekuatan magis.

"Aku membunuhnya karena bosan."

"Bosan?" tanya saya (mungkin) dengan mata membelalak.

Sungguh tidak masuk akal. Mana mungkin seorang kakak membunuh adiknya sendiri karena bosan. Orang ini tentu sudah gila.

"Tidak! Tidak!" saya histeris. "Jangan teruskan cerita itu. Anda pasti sedang mabuk. Di sini bukan tempat yang tepat untuk mencer¬itakan pengalaman buruk.”

Entahlah tiba-tiba saya ingin, menangis. Semoga saya tidak sedang bermimpi. Saya be¬nar-benar membenci lelaki sinting ini.

"Aku tidak ingin kebosananku herubah menyerangku dan balik membunuhku. Dan sebelum itu terjadi aku harus mengambil sikap dengan membunuh dia," ia terus bercerita tanpa menghiraukan saya. "Ketika polisi menangkapku, aku sama sekali tidak memberikan perlawanan. Kemudian tanpa melalui peradilan macam-macam aku dikurung di penjara ibu kota. Aku tidak tahu dan memang sen¬gaja untuk tidak mengetahui berapa lama aku harus tinggal di dalam penjara," ujarnya mera¬cau. "Tetapi yang jelas aku telah bertahun-tahun berada di sana hingga aku semakin bosan. Maka, dengan otakku yang cemerlang, kuputuskan kabur dari tembok bangunan tua itu.”

"Pelarian! Kau seorang buron! Kau harus kutangkap dan kuserahkan ke polisi" ancam saya. Dan orang itu tetap tenang. Dingin.

"Silakan," tawarnya santai.

Anehnya, saya tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya.

"Ketahuilah bahwa sebentar lagi kota ini akan dilanda wabah penyakit bosan. Penyakit yang saya derita ini akan menyebar seganas raja singa singa dan AIDS. Hati-hatilah. Tapi aku tidak yakin orang-orang akan terselamatkan."

Betapa enteng orang ini berkhotbah. Nyaris tanpa ekspresi, tanpa beban ketakutan oleh akibat rumor yang disebar. "Mereka akan melampiaskan rasa bosan itu dengan membunuh keluarganya, kekasihnya, sahabatnya, dan siapa saja sebelum penyakit itu membunuh dirinya sendiri."

"Cukup!”

"Siapa namamu, sih?" tanyanya sinis.

"Apa urusanmu dengan nama orang lain? Kita tak,pernah memiliki urusan dan kepentin¬gan. Maaf, sampai ketemu lagi."

Saya masuk ke dalam bus, dan mening¬galkan terminal.

"Hai, tunggu! Kau jangan sembrono. Jawab dulu pertanyaanku. Kalau tidak kamu akan kubunuh. Wajahmu akan aku kuliti dan kusim¬pan lidahmu dalam almari."

"Tak murah membeli nyawa saya.

"Bukan nyawa. Hiduplah sekarang yang telah menjadikan nyawa menjadi barang murah."
"Aku tidak takut."

"Sebentar. Bukan perkelahian yang aku in¬ginkan. Jawablah pertanyaanku, meski sebe¬tulnya aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya ingin tidak semakin bosan berbicara denganmu, Gunadi," katanya.

"Dari mana kau tahu namaku?" la tidak menjawab.

Dia tahu nama saya. Tampaknya ia sangat menikmati kemenangan ini. Dan sikapnya se¬makin meneror saya. Tiba-tiba rambut saya di¬belai dan saya dipeluk erat. Dengan jelas saya mendengar dadanya yang berdegap. Air matanya menetes hangat di pundak saya meng¬hancurkan rasa rindu yang bergumpal-gumpal.

Terminal sedari tadi tetap belum berubah. Tersuruk-suruk dalam sihir keramaian. Saya pun sadar telah tersihir oleh lelaki ini. Saya lepaskan pelukan itu dan lari ke dalam bus. Begitu juga ia pun lari ke dalam sebuah bus yang berangkat lebih dulu.
Bosan? Lelaki itu membunuh adiknya kare¬na bosan. Dan Sebentar lagi kota ini akan ter¬ancam wabah penyakit bosan. Ini sungguh sa¬ngat menakutkan.

Pikiran saya kacau. Suara mesin bus berden¬yar-denyar. Saya mengusap pundak dan kehangatan air mata orang itu masih terasa. Aneh, lelaki macam itu masih bisa menangis dan terharu.

Soros mata yang dingin itu tak mampu saya lepaskan. "Lelaki misterius. Siapa dia sebe¬narnya?" basin saya penasaran.

Mungkinkah suatu saat saya akan mem¬bunuh Mena, istri saya, hanya karena rasa bosan? Mungkinkah saya membunuh Gela,. anak saya yang minis itu, hanya karena bosan?
Belum sempat membuang pikiran-pikiran kotor itu, mendadak bus di depan saya terjungkal ke bawah jembatan setelah menabrak sebuah sedan.

Darah menyembur mewarnai air sungai. Sebagian penumpang tewas dan lainnya luka-lu¬ka.
Kengerian belum juga tuntas. Lelaki penjara dengan wajah berlumur darah berusaha keluar dari himpitan daun pintu mobil. Separoh tubuhnya terjepit tak dapat dilepaskan dengan sisa tenaganya.

"Kau pikir sopir bus itu telah mengantuk?" tanyanya ketika saya ingin menolongnya.

"Tidak, " jawab saya. "Saya tahu di kepala sopir itu terdapat bekas tembakan."

"Akulah yang menembaknya. Aku bosan de¬ngan perjalanan yang tak pernah sampai. Aku tidak ingin kehilangan diriku terlalu lama di te¬ngah perjalanan. Aku ingin sampai sebelum rasa bosan itu lebih dulu membunuhku."

Saya semakin tak mengerti. Pikiran saya sa¬ngat kalut. Pistol yang masih digenggamnya itu saya rebut. Di detik berikutnya dua pelor telah bersarang di jantungnya.

"Sekarang, sampailah perjalanan Anda," teriak saya.

Patiayam 2008

Monday, November 10, 2008

Garis Mata Pisau

Cerpen Jimat Kalimasadha

TATAPAN matanya sangat dalam dan saya merasa mata itu sudah sangat letih. Alis matanya tipis melintas di atas kelopak yang kecil. Dengan bentuk mata semacam itu, ia se¬lalu kelihatan sangat serius. Tidak saja dikarenakan oleh banyaknya persoalan yang harus dipikirkan, mungkin juga karena terlalu banyak bermeditasi. Dalam pandangan saya, mata itu sering berkilat seperti pisau, mengungkapkan banyak kilatan yang tak mam¬pu saya tangkap.

Hampir lima tahun ini, ia memang lebih banyak menyaksikan pemandangan di alam kasat mata dari¬pada barisan gunung-gunung, pohon-pohon rindang, atau laut berombak. Ia sangat jarang menyaksikan biru langit dan terang rembulan di halaman rumah kecil¬nya. Waktunya nyaris habis untuk bergulat dengan dunia jin, dunia setan, dunia malaikat, dunia roh, dunia leluhur, dunia gendruwo. Bagi saya wilayah itu sa¬ngat jauh dan tak bakal bisa terjangkau oleh pesawat apapun. Tetapi baginya daerah itu terasa sangat dekat dan indah, bahkan ia sering bertamasya ke sana. Dunia yang telah memberinya inspirasi tentang kehidupan setelah kehidupan, tentang kemanusiaan, tentang apa¬-apa yang sebelumnya ia sangsikan, dan juga tentang obsesi.

Saya pernah diajak memasuki wilayah kasat ma¬ta tersebut. Saya mau, tetapi saya tidak mampu. "Ini mungkin bukan bagianmu, bukan garismu yang harus kau lalui, Lik,” ujarnya pelan. "Tetapi aku akan terns melanjutkan perjalanan ini sampai gegayuhanku ter¬capai."

Saya diam. Menebak-nebak apa di balik kalimat yang diucapkan. Saya sudah belajar meditasi, memusatkan pikiran, bahkan siap berhadapan de¬ngan setan, jin, atau para leluhur yang berbicara dengan simbol-simbol sasmita. Saya siap. Saya mau, tapi saya tidak mampu. "Pintu komunikasimu memang masih tertutup," tandasnya.

Setiap malam saya diajak berbicara, merenung, berfilsafat tentang hal-hal sederhana. Tetapi jauh di dalamnya sering saya dapati sumur misteri tanpa dasar. "Apa kau pikir yang namanya setan itu pasti jahat?" tanyanya suatu malam di tengah perjalanan menuju sebuah makam di daerah Pengging Boyolali.

"Ya, saya yakin. Ayat-ayat suci bilang begitu," jawab saya.

"Agama selalu mengajarkan yang paling ideal. Padahal persoalan yang tengah kita hadapi ini sudah sangat mendesak dan riil sekali. Saya harus bertin¬dak, Lik," jawabnya. "Saya akan mencari pesugi¬han."

Saya terkejut. Sorot matanya saya perhatikan. Ki¬latan pisau di mata bawah alis tipis itu demikian tajam. "Biarlah saya akan menyembah setan, demit, leluhur, atau apapun, asal dia sanggup memberiku uang untuk mengembalikan hutang ayahku. Jika benar bahwa uang pesugihan adalah haram, pasti orang-¬orang yang merasa memiliki piutang kepada ayah tidak akan bersedia menerima pengembalian," ujarnya.

"Kalau mereka tetap menerima?"

"Saya akan menyangsikan mereka memegang teguh agamanya."
Tapi siapakah yang berani mengambil sikap de¬mikian. Kebanyakan orang tidak berani bersikap ter¬hadap uang. Apalagi pada saat-saat sulit seperti ini.
***

HAMPIR semua tempat pesugihan sudah ia kun¬jungi. Saya selalu diajaknya. Saya ingin membantu karena saya merasa menjadi bagian keluarga. Mes¬ki demikian, toh saya tetap tidak bisa berbuat apa-apa. "Kamu tak perlu terus-menerus mengikutiku. Keluarga ini telah menjadi perahu yang hampir pec¬ah dan sebentar lagi dapat dipastikan bakal tenggelam ke dasar kehancuran. Selamatkanlah dirimu. Biarkan aku sendiri yang tenggelam."

"Sedapat mungkin perahu ini tidak tenggelam. Siapa tahu kita masih bisa menyelamatkannya. Katanya kita harus bersabar, tetapi tidak nrimo begitu saja."
Ia tersenyum.

Tempat pesugihan yang pertama kali kami datangi adalah Sendang Bulus Jimbung. Bulus setan itu bema¬ma Cemeng dan Remeng. Ia sudah siap mati dengan kulit belang-belang asal bulus pesugihan itu sanggup memberikan uang. Ritual selamatan dan sesajen su¬dah dilakukan. Tetapi entah karena apa bulus tersebut, yang terkenal sangat Sakti, gagal memberikan pesugihan. "Saya tidak sanggup. Ki Cemeng dan Nyi Remeng tidak bisa menolong Saudara," kata juru kunci pasrah. Pak Ruri, juru kunci Pesugihan Jim-bung, itu memberikan referensi agar kami ke Bayat saja yang masih satu kabupaten. Katanya, orang-orang yang ke sina belum pernah gagal.

Kami kemudian dikenalkan dengan juru kuncinya. Di situ ternyata banyak juga orang yang melakukan transaksi nyawa demi uang, demi hutang yang tak mampu dilunasi dengan bekerja biasa. Orang-orang rela mengorbankan anak, istri, atau orang tuanya sendiri, asalkan diberi uang untuk membayar hutang dan modal kaya.

"Tidak. Saya tidak mengorbankan siapa-siapa. Diri saya yang akan menjadi tumbalnya. Saya ingin menjual diri saya kepada setan demi uang untuk melunasi hutang-hutang saya. Biarkan kelak saya menjadi begundal setan di neraka," katanya mantap dengan sorot mata berkilat.

Juru kunci itu lalu memejamkan mata, meman¬dang ke alam lain untuk berkomunikasi dengan sang setan, yang katanya bernama Bu Lastri dan Mbah Egrandoyo. Kami juga melakukan hal yang sama.
"Aga yang kaulihat tadi, Lik?" tanyanya sesampai-di rumah.
"Tidak melihat apa-apa"

"Aku melihat kegagalan akan menghadang kita kembali. Tapi biarlah kita coba. Kita tidak boleh mendahului kehendak setan." Kami tertawa-tawa sambil sadar bahwa usaha yang kami lakukan sia-sia. Sia¬pa tahu, ya siapa tahu. Bu Lastri dan Mbah Egrangdoyo mungkin masih memiliki kekuatan simpanan.

Dan benar. Usaha yang kedua ini juga gagal. Saya heran. Kegagalan tampaknya malah menambah se¬mangat dan rasa penasaran. Sebuah tempat pesugihan di daerah Slawi dijadikan sasaran berikutnya. Namanya Mbah Buncing. Perempuan bermata laki-laki ini mempunyai aura yang menakutkan. Saya begidik. Memandang perempuan itu bulu-bulu saya merinding.
Dan, yang ini juga gagal.
Kami lari ke Pekalongan, ke Dewi Lanjar. Bahkan ke situ pun tak ada kesanggupan apalagi keberhasilan. Sementara udara rumah kami sudah benar-benar kental dengan aroma setan. Kamar gelap penuh bau kemenyan dan kembang. Sebuah almari besar berdiri di sudut kamar. Sekali-kali saya buka, masih juga kosong. Kapan almari ini dipenuhi dengan uang ajaib milik setan itu? batin saya.

Gagal ke Dewi Lanjar, usaha mencari pesugihan dilanjutkan ke Sukorejo. Juru kuncinya optimis akan dapat membantu. Kami bahkan disodori sebuah surat perjanjian di atas meterai. Kalau gagal, uang sajen dijamin kembali. Toh, tetap juga gagal. Meski tidak semua, uang sajen dan selamatan dikembalikan sesuai dengan pejanjian yang telah dibuat.

Mengapa semuanya tak ada yang berhasil? Atas saran orang pintar kami lalu pergi ke Goa Langse yang terletak di tebing Pantai Selatan. Goa itu benar-benar berada di dinding tebing. Untuk mencapainya kami harus menuruni tangga kayu dan berpegangan dengan tali. Itu pun masih belum juga berhasil. Kemana lagi, kemana lagi?

"Mana buktinya setan bisa memberikan pesugihan? Jika benar setan itu licik dan jahat, pasti mereka telah memakanku dengan sadis dan menukarnya dengan uang yang aku butuhkan. Mana?" ia bicara dengan perasaan yang sulit saya lukiskan. Kesal dan nyaris putus asa.
***

KADANG-KADANG saya berpikir mungkinkah kegagalan-kegagalan ini juga bagian dari kelicikan setan? Setan-setan itu pura-pura berjanji akan berusaha menolong dengan tujuan bisa menyeret kami ke dalam wilayahnya. Rasa penasaran itu sengaja diciptakan agar kami terus-menerus mendatangi tem¬pat pesugihan satu ke tempat pesugihan lainnya.

"Kapan kita akan mengakhiri usaha ini?" Saya duduk di depannya. Kopi di hadapan kami sudah mendingin. "Lebih baik kita bekerja dengan wajar seperti dulu."

"Suatu hari nanti saya bisa membuktikan bahwa pesugihan itu memang ada."

"Bang Ganang tak usah ambisius begitu. Orang sih boleh punya obsesi. Tetapi harus juga punya tar¬get waktu. Apakah sampai mati nanti akan tetap men¬cari pesugihan?"

"Aku tidak tega menyaksikan orang-orang menderita."

"Mestikah harus membantu mereka dengan mencari pesugihan?" protes saya.
"Sunan Kalijaga pernah membantu orang-orang kesrakat justru dengan mencuri."
"Pada saatnya Sunan Kalijaga bertobat dan berhen¬ti menjadi seorang pencuri."
"Itu soal takdir, soal momentum, Lik," Jawabnya serius. "Kebetulan saja pertarungan antara ambisi berbuat jahat dan niat bertobat pada Sunan Kalijaga dimenangkan oleh kesadaran bertobat."

Garis-garis pisau di matanya berkilat. Saya tahu, garis-garis itu sedang bertarung untuk memenang¬kan antara ya dan tidak, antara baik dan buruk sesuai dengan keyakinan nuraninya. Garis-garis pisau di matanya saling membabat, menebas, dan bertempur sampai salah satu ada yang kalah dan menang. Akhir perta¬rungan yang selalu ditandai dengan kekalahan dan kemenangan itulah yang dulu pernah ia namakan takdir. Tampaknya ia memilih hidup sesuai dengan takdirnya, dan tidak mengacuhkan kelak akan ma¬suk neraka atau surga. Dan kini ia sedang menung¬gu momentum itu.

Tatapan matanya sangat dalam dan saya merasa mata itu sudah sangat letih. Alis tipis melintas di atas kelopak matanya yang kecil. Mata itu terus menatap saya.**

Patiayam, 1997

Saturday, November 8, 2008

Mas Soni dan One Day-School

Cerpen Jimat Kalimasadha

Sudah bosan sebenarnya, saya bertengkar dengan Mas Soni setiap hari. Sudah saya coba untuk menyuruhnya berangkat tidur lebih awal, tetapi dia selalu begadang hingga larut malam. Sedangkan saya selalu bangun pukul empat pagi, terlalu capek untuk bekerja sendiri: memasak, menyiapkan sarapan, memandikan Bulan dan Bintang, menyiapkan baju, kopi Mas Soni, menyemir sepatu, berdandan, dan, mengantar Bulan ke sekolah. Dan karena itu, saya sulit menghentikan kebiasaan mengomel.

“Kamu memang tidak bisa bersikap adil dengan istrimu. Kamu tega dan senang melihat istrimu menderita. Kamu enakan tidur, bangun siang, sarapan, dan mengurus diri sendiri lalu berangkat kerja. Tidak pernah mau bantu-bantu. Kau pikir istri hanya masin untuk…,” sejenis itulah omelan saya setiap pagi.

Dan saya paling marah kalau dianggap lebih cerewet daripada burung beo.

“Kamu pikir, siapa sih yang paling menderita di antara kita?” hardik Mas Soni dengan nada tinggi mencoba mengimbangi sewot saya. “Saya atau kamu?”

“Ya, jelas saya dong. Saya sudah bangun, kamu masih tidur. Saya sudah kerja, kamu masih tidur. Hampir 20 jam saya bekerja, sedangkan kamu, apa… Separoh dari jam kerjamu itu adalah membual, menggombal,” tukas saya dengan suara lebih tinggi dan ketus. “Sadar nggak, sih kamu?”

“Lama-lama mendengarkan omelanmu itu hidup saya menjadi lebih menderita dari siapapun.”

“Bohong. Kamu bohong besar,” saya tersenyum sinis dengan menggerakkan bibir ke atas. Bibir saya itu tidak saja sinis, gigi taring saya jadi kelihatan sedikit, dan saya berharap imajinasi Mas Soni melintasi wajah vampir yang sangat menakutkan...
Biar saja, dia mengatakan saya ini memang sudah sangat berbeda dan aneh dengan ketika kami masih pacaran enam tahun lalu. Saat itu saya adalah perempuan lembut, feminis, santun dan sensual… Sebegitukah cepat bahwa perkawinan tak lebih dari usaha menciptakan sistem baru untuk membohongi dan menipu diri sendiri? Seperti fatamorgana, nampak seakan ada kesejukan di gurun pasir yang panas mengkilat tapi semua ternyata bullshit!
***

Jelas, dengan begitu anda pasti berkesimpulan keluarga saya bukanlah keluarga yang bahagia. Apalagi dengan kehadiran dua anak kami, Bulan dan Bintang. Mereka menciptakan kerepotan yang luar biasa. Kebiasaan hidup saya berubah total dan selalu uring-uringan tentang hal-hal remeh-temeh. Saya semakin temperamental dan impulsif. Belakangan ini saya jadi malas melayani Mas Soni dan sebaliknya, Mas Soni malah sering ingin. Kesibukan membuat saya sangat letih, hidup kami menjadi lungkrah dan monoton. Kadang juga terlintas prasangka buruk, adakah suami saya punya keinginan untuk berselingkuh dan melakukan begituan dengan perempuan lain?

Memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu justru membuat system saraf otak saya makin berkerenyit. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan Bulan sering merepotkan saya. Misalnya begini.

“Ma, apa yang menyebabkan wanita di TV itu bisa hamil?” tanyanya dengan enteng sekali ketika melihat sinetron Indonesia. “Dia kan belum kawin...”

Jantung saya hampir berhenti. Ingatan saya langsung menerobos-jebol dinding masa lalu tentang kehamilan dia yang kurang lebih juga sama dengan tokoh sinetron itu. Saya gelagapan menjawab pertanyaan itu dan perlu berkonsultasi dengan seorang teman psikolog yang sering mengisi rubrik “Konsektasi” pada sebuah majalah wanita.
Atau ketika saya kelepasan mengumpat Mas Soni dengan ungkapan kasar di dekat Bulan yang sedang bermain pasar-pasaran. Mendadak dia memotong pembicaraan. “Ma, apa artinya sodrun?”

Heh, saya ingin tertawa, tapi saya telan kembali. Bagaimana coba menjelaskan pertanyaan itu, sekalipun dengan berbohong...
***

Pertanyaan-pertanyaan anak putri saya itu seringkali seperti batu kerikil yang terlempar dari sebuah ketepel lalu mengenai kepala bagian belakang. “Apakah Mama dan Papa perlu berpisah agar kami tidak mendengar suara gaduh setiap pagi?” protes Bulan mengejutkan. Bocah kelas dua SD itu rupanya merekam pertengkaran kami.

“Kamu senang kalau Mama dan Papa berpisah? Begitu?”

Bagi saya kata ‘berpisah’ tentu memiliki konotasi yang lebih dari sekedar berpisah biasa. Bahkan kata tersebut bisa lebih dari sekedar bencana besar.

“Tanyakan saja pada diri Mama. Itu bukan urusan aku,” jawabnya.

“Mengapa kamu bilang begitu?”

“Mama dan Papa tidak bisa jadi contoh,” jawab Bulan spontan.

“Siapa yang mengajari kamu berkata kaya gituan?” Tanya saya menyelidik. Jangan-jangan papanya yang membisiki kosa kata kasar begitu. “Siapa Bulan?”

“Bu Guru Dita.”

“Apa, sih kata Bu Guru?”

“Bu Guru bilang, kalau orang dewasa bertengkar mereka tidak boleh dicontoh. Nah, kalau Mama dan Papa bertengkar berarti tidak bisa jadi contoh, dong. Mereka yang bertengkar juga harus dipisah, tidak boleh berkumpul. Itu hukumannya...”
Plong...Lega. Dugaan saya ternyata salah. Pikiran anak kecil. Tapi, tidak sesederhana itu seandainya pertanyaan Bulan benar-benar dikatakan Mas Soni.
***

Sebuah peristiwa semakin memperkeruh suasana. Waktu itu saya mengantar Bulan ke sekolah. Saya sengaja menunggui dia sambil melihat bagaimana dia belajar, bermain, dan berhubungan dengan lingkungannya. Sesungguhnya saya hanya ingin menyaksikan sejauh mana perkembangan anak saya di sekolah yang menurut para tetangga dianggap sebagai sekolah ‘mahal’. Jujur saja, saya kurang setuju Bulan bersekolah di situ. Sekolah itu diumulai pukul 7:30 dan selesai pukul 16:00.

Suami yang ngotot menyekolahkan Bulan ke one-day school itu. Alasannya: kurikulumnya bagus, fasilitasnya lengkap, guru-gurunya berkualitas, pelajaran bahasa Inggrisnya aktif, pendidikan agamanya mantap, dan, katanya, itu sekolah pertama di kota kami yang menerapkan competency based curriculum. Singkatnya, metode pembelajaran yang diterapkan adalah yang paling sophisticated. Pokoknya kaya sekolah-sekolah di Melbourne yang menerapkan fun learning, kata Mas Sony serius.

Hari itu saya mendapati Bulan sedang belajar di luar kelas bersama teman-temannya. Mereka dikumpulkan oleh Bu Guru Dita di halaman menuju sebuah taman bunga kecil untuk melakukan observasi. Saya melihat anak-anak begitu akrab dengan Bu Guru yang cantik ini: masih muda, sabar, lembut, dan seksi belaka... Dia sangat mengenal karakter anak didiknya dan tahu akan keinginan bocah-bocah itu.

“Bunga bougenvile ini tampak indah. Menurut kalian, mengapa bunga ini kelihatan indah dan segar?” tanya Bu Dita. “Apa pendapatmu Vira?”

“Mendapat sinar matahari pagi,” jawab Vira mantap.
“Betul sekali. Nah, bagaimana dengan pendapatmu Bulan?”
“Ehm... Minum banyak dan mandi pagi,” jawab Bulan ragu. Tampak dia menjawab asal-asalan.

Teman-temannya tertawa. Hanya Bulan yang tidak. Bu Dita rupanya memahami persoalan ini. “Jawaban Bulan juga betul. Tidak hanya manusia yang perlu minum dan mandi. Bunga juga butuh air untuk minum dan mandi. Oleh karena itu kita harus rajin menyiramnya agar bunga-bunga di taman tetap indah dan segar,” wanita itu menjelaskan. Lalu dia mengkaitkan dengan kebiasaan anak-anak, “Siapa yang tadi pagi mandi?”

“Saya...” anak-anak itu menjawab serentak seperti koor panjang sambil mengangkat tangannya.

“Siapa yang tadi pagi minum susu?”

“Saya....” jawab mereka serentak. Saya melihat Bulan dari kejauhan juga ikut mengangkat tangan tinggi-tinggi dengan yakin, karena tadi pagi dia benar-benar minum susu.

“Siapa yang tadi pagi sholat Subuh?”

“Saya...” jawaban anak-anak juga serentak. Bulan kelihatan ragu karena dia tidak pernah sholat. Dia mengerti, tidak ada kebiasaan sholat lima waktu dalam keluarga kami. Tapi dia takut dengan kejujurannya sendiri. Dia takut tidak seperti teman-temannya. Meskipun di antara teman-temannya itu, barangkali, ada juga yang seperti Bulan. Anak saya mengangkat tangannya setengah dengan menengok kanan-kiri.

“Siapa yang tadi pagi membantu ibu membersihkan tempat tidur?” tanya Bu Dita semakin semangat.

“Saya...!!”

Bulan mengangkat tangannya lebih tinggi meskipun tidak penuh. Kali ini dia lebih berani. Dia juga tidak menengok kanan-kiri lagi. Dia telah melakukan kebohongan terhadap dirinya sendiri hanya sekedar ingin memperoleh perasaan tenang. Anehnya, Bu Dita justru senang dan bangga mendapatkan jawaban manis seperti itu. Dia tidak berpikir bahwa sebenarnya dia telah mengajarkan kebohongan pada anak-anak kecil demi mendapatkan rasa aman. Apa jadinya jika kebohongan-kebohongan kecil semacam ini tertanam terus-menerus selama bertahun-tahun? Kalau kebohongan-kebohongan ini –mungkin menurut kebanyakan orang dianggap hal kecil- biasa dilakukan setiap hari, adakah sekolah kita masih memberikan kesempatan bagi siswanya untuk berbuat jujur?

Adakah ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan kejujuran dirinya sendiri, meskipun itu tidak sesuai dengan nilai kebaikan yang diharapkan? Kepalsuan-kepalsuan macam apa lagi yang kelak dilakukan oleh generasi anak-anak saya? Sesampainya di rumah saya telah mengambil keputusan bulat untuk memindahkan Bulan dari one-day school yang sophisticated itu. Saya katakan kepada suami bahwa Bu Dita telah melakukan kesalahan fatal. Kali ini kami bertengkar hebat lagi. Dia tidak setuju, ingin mempertahan Bulan. Dia tetap tidak percaya dan sayalah yang justru dianggap telah berbohong.***

Patiayam, Juni 2004

Friday, November 7, 2008

Kabut di Daun Jendela

Cerpen Jimat Kalimasadha

MALAM merambat di atas daun-daun ketela, mengalirkan kegelapan dan kebekuan. Kesenyapan membisikkan perasaan bimbang di hati Kartini. Ia sedang menunggu seseorang. Sesekali dadanya berdebar kencang. Degup jantungnya terdengar berdenyar tak karuan. Tak ingin ia menunggu lebih lama lagi. Tapi, pintu jendela samping yang bersebelahan dengan jalan gang tidak terdengar juga diketuk oleh seseorang.
Sudah dua kali pintu itu dibukanya sendiri. Ditengoknya malam di luar, makin kelam dan keras. Daun pintu itu ditutup kembali dengan nyaris tanpa suara. Tak ada siapa-siapa di luar. Hanya suara angin sesekali mengesek daun-daun bambu, kemudian lenyap. Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya terpejam tapi pikirannya tak bisa ia tidurkan.

“Tidak. Pasti dia tidak datang malam ini,” bisiknya dalam hati.

Wajahnya menggambarkan kekecewaan. Ia memiringkan tubuhnya, lalu kembali tergolek, dan matanya memaku ke langit-langit kamar. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya seperti mengeluarkan kegelisahan dari dinding batinnya.

“Adakah malam ini engkau datang, Kang Songa?” harapnya berulang-ulang. “Aku kedinginan. Aku tak bisa tidur malam ini.”

Dan gerimis pun tiba-tiba menitik di genting kaca, menciptakan garis-garis liar. Malam menjadi semakin berkabut. O, siluet kabut itu yang selalu memupuskan harapan Kartini kepada Songa. Pikirannya menembus daun jendela dan menyusup di sela-sela gerimis. Tapi lautan kabut terlalu pekat. Batinnya mengerang memanggil-manggil Songa. Ia ingin sekali lelaki itu datang dan mengetuk daun jendela kamarnya.

“Aku kedinginan. Aku tak bisa tidur malam ini, Kang Songa,” kata batinnya berulang-ulang. Diam-diam ia merasa cemburu dengan Yu Tikem, istri Songa. Ia membayangkan pasangan suami istri itu sedang bercengkerama.

Apakah dia lupa akan janjinya sendiri? Angin yang masuk melalui lubang jendela semakin menambah penantian lebih menggelisahkan. Waktu terus terulur. Ia ingin memastikan bahwa laki-laki itu menepati janjinya.

“Aku akan datang besok malam. Tunggu aku mengetuk daun jendelamu,” janji Songa pada malam sebelumnya sambil mengenakan sarungnya.

Tini mengangguk.

Dengan keringat membasahi leher dan dada, laki-laki itu menghilang di kegelapan setelah menerkam tubuh Tini dengan garang dari segala sisi. Suami Yu Tikem itu bagai menyimpan lahar kejantanan. Tini dibuat luluh lantak di tengah pusarannya.

“Kang Songa belum tua, meski dah beranak dua…,” ujar Kartini sambil pura-pura mencabut rambut ketiak Songa. Ia tersenyum. Tubuhnya yang gempal itu berguncang.
Dibanding Yu Tikem, saudara sepupunya itu, Kartini jauh lebih muda. Tak pernah ada yang mengira ia telah begitu jauh menjalin hubungan dengan Songa. Selama ini anak-anak muda kampung hanya mengira, dari cara jalan Kartini, menunjukkan ia sudah tidak perawan.

Dua kali ia gagal menikah. Terakhir seorang pemuda dari desa Jambean bermaksud melamarnya. Entah mengapa, laki-laki itu pergi begitu saja setelah membawa lari sepeda motornya. Sebelumnya, laki-laki itu berjanji akan datang bersama kedua orang tuanya untuk melamar, tapi setelah ditunggu-tunggu ia tidak pernah datang. Sampai sekarang.

Setengah tahun kemudian, Kartini dikabarkan akan dinikahi oleh Karmin tetangga dekat situ. Sayang, orang tua Karmin tidak setuju atas rencana tersebut. Alasannya, hari weton mereka tidak cocok. Kartini kehilangan harapan. Terkadang hidup itu memang seperti anak kecil yang sedang membuat istana pasir di pantai. Begitu hampir jadi, tiba-tiba ombak datang dan menghancurkan semua. Segalanya harus dimulai dari awal lagi, sementara usia terus melaju. Malam pun semakin dalam.
Anjing Tini tiba-tiba menyalak. Jantung perempuan itu berjingkat. Tak lama kemudian pintu jendela diketuk seseorang.
***

YU Tikem letih setelah memecah kayu bakar yang baru saja dipungutnya dari hutan. Diletakkannya parang kecil yang digunakan untuk memecah kayu di sela penjepit dinding bambu rumahnya. Ia duduk termangu di lincak teras. Bau masakan Kartini tercium dari rumahnya menggerakkan rasa lapar. Dari rumah Tini yang hanya berjarak beberapa rumah, terdengar suara Sadi dan Sani tertawa-tawa. Sejak kecil kedua anak itu memang akrab dengan Bu Liknya. Keduanya selalu dititipkan ke Kartini, jika Tikem dan Songa pergi ke ladang atau mengambil kayu rencek di hutan.

Yu Tikem memang tidak seperti dulu. Wajah tirusnya tampak lebih kurus dengan rambut yang jarang disisir. Berbeda dengan ketika masih bekerja sebagai buruh rokok di pabrik, ia masih sering berdandan. Begitu anak-anaknya lahir, ia memutuskan keluar dari pabrik. Ia memilih momong anak-anaknya sambil membantu suaminya mengolah ladang. Hari-harinya habis untuk kedua anaknya dan bercocok tanam. Pikirannya terkuras untuk ladang, pupuk, pestisida, dan menjual kayu rencek untuk sekedar mendapatkan uang jajan Sadi dan Sani. Kalau sudah begitu, apa arti rasa letih dan capai?

Siang itu suaminya belum pulang dari ladang. Ia juga belum memasak untuk makan siang. Terdengar Sadi dan Sani berteriak-teriak memanggil dari rumah Bu Liknya. Mereka tidak mau pulang sendiri. Tikem akhirnya pergi ke rumah Tini masuk melalui pintu dapur.
Kartini sedang menggoreng putren. Aroma sambal goreng jagung muda itu membuat Yu Tikem menelan ludah.

“Sarapan dulu, Yu,” Kartini menawari. “Tuh, sayurnya. Ayo, ambil piring.”

Tikem tersenyum. Ia tidak langsung menyambut tawaran Tini. Ditatapnya wajah sepupunya itu dalam-dalam. Perasaannya bergetar. Tubuh adiknya itu seperti tenggelam dalam sorot matanya. Tini bukan hanya cantik, tapi juga singset. Dia masih muda meski para tetangga mencibir dia parawan tua dan sudah tidak perawan lagi.

“Kok nggak ambil piring? Coba saja sambal gorengnya.”

“Aku baru memperhatikan caramu memasak.”

“Kenapa?”

“Lebih baik kamu cepat-cepat menikah, Tin,” kata-kata itu meluncur begitu saja.

“Ah, Yu Tikem. Mana ada laki-laki yang mau denganku?”

“Jangan pernah bilang begitu. Namanya itu putus asa. Setiap orang itu pasti berjodoh. Tak bisa kamu terus-menerus sendirian. Ada kebutuhan batin yang jauh lebih penting dari sekedar materi. Kaawinlah, biar masakanmu lebih berarti, biar kamu merasa menjadi perempuan. Wong wadon akeh godane, Tin.”

Tini tersentak. Keringat tipis menimbuni dahinya. Perasaannya tak karuan, bergolak seperti ada yang mengeluarkan isinya. Batinnya meraba-raba. Jangan-jangan Yu Tikem tahu hubungannya dengan Songa. Rasa risau hatinya semakin membakar.

“Laki-laki tidak ada yang setia,” celetuknya.

“Tidak semua. Buktinya, bapaknya Sadi juga masih setia denganku.”

“Hanya Kang Songa yang bisa setia.”

Tikem tersenyum. “Bisa-bisanya kamu….”

“Aku sudah merasa bahagia seperti ini, Yu,” jawabnya sambil menatap Tikem dalam-dalam.

“Tapi apa penilaian tetangga? Kamu dibilang perawan tua, nggak laku dan macam-macamlah.”

“Itu hak mereka, juga hak Yu Tikem untuk bicara.”

“Aku hanya memberi saran.”

“Ah.”

Sadi dan Sani terdengar riuh. Mereka bertengkar di ruang tamu. Suaranya gaduh. Mereka bermain kejar-kejaran. Naik ke atas meja, menendang vas bunga dan terdengar suara barang pecah. Ketika Yu Tikem mengajaknya pulang, mereka malah masuk ke dalam kamar Tini. Bocah kecil itu meloncat-loncat di atas tempat tidur. Mereka lari ke sana-sini menirukan tokoh kartun Tom and Jerry.

“Ayo pulang. Bapakmu sudah datang. Nanti kamu nggak diajak ke pasar,” bujuk ibunya dengan suara ditekan. “Nanti Mak Lik marah!”

Tikem makin sebel dipermainkan anak-anaknya. Dia berusaha menangkap Sadi dan Sani. Tapi, niat itu mendadak diurungkan. Ada yang menyentak penglihatannya. Sebuah benda berwarna kuning. Dengan perasaan aneh, benda itu dipungutnya. Wajah perempuan itu seperti tak percaya, sebab dia tahu persis apa yang tengah dipengangnya. Singlet ini adalah milik suaminya yang dipakai tadi malam sebelum suaminya pamit ke rumah Noko untuk nonton siaran langsung Liga Inggris.

Digenggamnya kain tersebut dengan kedua tangannya. Ia tarik bagian lengannya hingga menimbulkan suara keras. Sadi dan Sani menyaksikan dengan mata lucu. Kemudian, disambarnya tubuh kecil itu dan dipagutnya dalam pelukan. Serta-merta Yu Tikem menangis, membayangkan sebuah peristiwa yang sangat menyakitkan. Matanya basah samar-samar menyaksikan kabut yang masih tersisa di daun jendela kamar adik sepupunya.***

Patiayam, musim hujan 2007

Thursday, November 6, 2008

Senja Lewat Begitu Saja

Cerpen Jimat Kalimasadha

KEINGINAN perempuan tua itu hanya memiliki rumah yang agak layak, berdinding bata, tidak bocor, dan kuat menyangga angin yang sewaktu-waktu menghantam dari atas bukit di sebelah rumahnya. Ia tidak ingin apa-apa, kecuali tidur dengan lebih tenang dan memanjatkan doa dengan lebih khusuk pada tengah malam.

“Rasanya, sekarang aku lebih tahu,” gumamnya lirih. Kalimat itu berhenti dan matanya menatap genting di atas tidurnya.

Hujan belakangan ini selalu disertai angin kencang, sungguh ini benar-benar melahirkan perasaan bahwa sewaktu-waktu atap atau dinding rumahnya akan terbang bersama angin dan ia akan mati rata dengan rumah tanpa sempat menyebut nama Tuhan. Malam, hujan, dan angin selalu membuncahkan kesunyian, kesendirian, dan aroma pada kematian yang kerap ia rasakan kepak sayapnya bergemuruh di atas tidurnya.

“Adakah anak-anakku pernah berpikir bahwa aku akan mati dengan cara yang sangat tragis, tertimpa oleh reruntuhan rumah tua ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. Tetesan air hujan itu terlalu dingin menembus selimut tipis warisan dari suaminya yang meninggal sepuluh tahun lalu. “Mengertikah engkau, wahai Sangka dan Kala bahwa di bawah ranjangku yang reyot atau di bawah sajadahku mungkin ada seekor ular melingkar karena lantai lembab dan siap menerkam tanganku yang gemetar?”

Genting rumahnya bocor di sana-sini. Air hujan merembes dari genting kerpus menetes tepat di atas lipatan pipi tuanya. Air hujan seringkali lalu menyatu dengan air mata dan ia usap begitu saja setelah berpendar dengan sinar bola lampu sepuluh watt. Perempuan tua itu ingin peristiwa semacam ini hanya terjadi dalam mimpi. Tetapi, alangkah kagetnya, ternyata pikirannya masih terjaga, matanya belum juga tidur meski telah terpenjam. Di luar hujan membentuk tirai kabut, menyemburkan muntahnya dengan banal dalam kegelapan seperti jari-jemari langit yang menari liar. Angin mendasau, malam merapuh.

“Rumah ini harus kalian ingat adalah tempat aku pertama kali melingkarkan tangan kehangatan ketika kalian belum mengenal segala macam dosa. Sebelum engkau mengetahui bahwa aku sebenarnya memang seorang ibu yang pantas engkau kutuki, anak-anakku. Tapi, apa bedanya engkau dengan ayahmu? Kalian tidak benar-benar mencintai aku. Aku hanya semacam terminal yang engkau singgahi dengan caramu sendiri,” perempuan itu menggeram.

“Songa,” suara itu tiba-tiba mendesis di bibirnya, lalu ia telan kembali. Ia tidak ingin mengingat almarhum suaminya. Ah, suami! “Brengsek! Pantaskah aku menyebut Songa sebagai suamiku? Sejak kapan lelaki itu menikahiku?”

Sebutan suami ia kira hanyalah semacam niat baik agar secara sosial hidupnya lebih tenteram. Perempuan itu tersenyum sinis. “Kenapa dulu aku membiarkan Songa tidak menikahiku secara sah, atau setidaknya menikah siri saja?” batinnya marah. “Lalu, kenapa aku juga mengizinkan anak-anakku menikah dengan perempuan-perempuan yang tidak pernah menaruh kebaikan padaku?”

Ia mendadak bangun dari tempat tidur ketika cahaya petir melesat melalui lubang angin dan beberapa detik kemudian suara geledak seperti menghantam batu besar di atas bukit sebelah rumahnya.

Atau, niat baik itukah yang menjadi pokok persoalannya? Ia menarik selimut dan mendekatkan ujung kain putih berseret hitam itu ke dekat hidung. Di bawah selimut seolah ia ingin mendapatkan perlindungan untuk tubuh dan batinnya yang senantiasa sunyi dan rapuh. Ia sebenarnya tetap kuat tetapi tangannya gemetar, dadanya bergetar. ”Ya, awalnya barangkali karena niat baik. Sekarang aku tahu, bahwa niat baik sering menjadi penyebab situasi buruk semacam ini,” perempuan itu menguap.
Dulu itu ia hanya percaya pada keindahan kata, keyakinan janji, manisnya cumbu rayu, dan bara cinta yang menyala-nyala. Songa begitu pintar mengalihkan perdebatan menjadi diskusi intim dan mengalirkan sungai jernih di dalam dadanya, meliuk-liuk seperti tembang Sinom Parijotho atau Silk Road Kitaro.

Ia amat tenang menghadapi tuntutan perempuan itu, ia tidak hanya menaklukkan pusat cinta, melainkan juga menaklukkan kata-kata yang menjadi senjatanya. Buat apa surat nikah, begitu katanya, lembaga pernikahan tak ubahnya seperti pelabuhan sepi sekedar untuk transit sementara. Orang-orang terus mengalir meninggalkan pelabuhan lama dan menemukan pelabuhan baru.

“Lembaga itu lama-kelamaan merapuh dan pelan-pelan akan hancur karena ruh perkawinan sedang dikebiri,” kata Songa seraya membelai rambutnya. Lembut. “Dan kita memiliki ruh yang demikian kokoh, Sayang. Apa itu? Tidak lain adalah cinta yang merimbun dalam jiwa kita. Kita tidak memerlukan lembaga bernama pernikahan. Pernikahan hanya mendorong kita saling berkhianat, membuat hubungan kita cepat hambar, dan mempercepat kita mencari pelabuhan baru.”

Bullshit! Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut Songa dengan lembut dan menyakinkan, menyerupai untaian asap rokok berputar-putar di udara, dan perempuan itu terbius oleh racun nikotinnya. Saat itu juga musim penghujan seperti ini. Sepasang manusia itu kemudian berpelukan, lumat dalam danau cinta (o, cinta ataukah nafsu, nafsu itukah cinta?) dan tenggelam dalam selimut putih berseret hitam, dan tak terasa mereka telah begitu lama melewati waktu. Hingga senja meluruh di bukit sebelah rumah, di antara pohon-pohon jati yang daunnya mulai menghijau setelah meranggas dimakan ulat.

“Sekarang aku tahu, Songa,” gumam perempuan itu lirih. “Bahwa semua ini sudah menjadi nasibku. Kutukan takdir ini harus aku jalani hingga aku menyerah. Di sini ini juga, rumah tempat kau menaklukkan cinta dan kata-kata hingga aku bertekuk lutut.”
Sampai suatu ketika, ya sampai usia tak mampu menjerat senja, dan senja lewat begitu saja.
***

MUSIM penghujan nyaris lewat. Perempuan tua itu tetap sendiri, menatap lintasan cahaya matahari sore yang menerobos di atas tempat tidurnya, di antara papan jendela yang telah pecah, daun pintu yang lapuk, dan genting kaca yang tertutup oleh sawang-sawang. Rumah tawon yang menggantung di kayu bandar telah kosong. Anak-anak tawon itu kini menginjak dewasa dan meninggalkan rumahnya.

Ia berpikir, barangkali saja si induk tawon itu mengalami nasib yang sama. Anak-anaknya menikah dengan tawon betina yang tidak menaruh kebaikan kepadanya. Ia di tinggal begitu saja, dengan tubuh yang semakin merapuh, dengan kaki gemetar, memasuki usia tua dengan mata kabur, dan akhirnya mati bersama reruntuhan rumahnya sendiri.

“Alangkah indahnya tragedi ini,” pikirnya. “Penderitaan harus bisa aku nikmati dengan ikhlas karena keduanya demikian kabur batasnya.”

Jika benar hujan pun akan ditinggalkan oleh gerimis karena musim akan berganti, suatu ketika badai pun akan dikhianati oleh angin dan belantara siang dipisahkan oleh senja. Perempuan tua itu semakin tahu, tak perlu resah pada yang bakal tiba, dan ia juga tidak perlu khawatir seandainya kelak anak-anaknya tak kembali.
Sore itu mendung datang dari langit barat laut mirip asap tebal, hitam dan kelam.

Mungkin saja ini hujan terakhir tahun ini. Angin menggiring awan dan menyentak bukit, hingga gemuruhnya berhamburan di lembah bawah. Mungkin ini hujan terakhir, tetapi mana? Setetes pun hujan belum juga turun. Angin, ya angin itu, yang semena-mena mencelakai awan. Kawanan mendung itu pelan-pelan takluk pada kekuatan dan keberingasan angin, mereka ikut terbang dan hilang.

Perempuan tua itu merasakan ada angin beringas menukik meninggalkan gemuruhnya. Ia mendengar getarannya dengan begitu jelas. Angin beringas itu keluar dari komposisi orkestra belantara di bukit kecil sebelah rumahnya. Ini bukan angin biasa, ini tidak seperti biasanya. Tidak! Seharusnya angin ini tidak melesat sendirian dan keluar dari ikatannya. Perasaan perempuan itu, atau bisa jadi intuisinya, tersentak seketika. Ia sedikit mengumpat, tapi segera ditelan dan cepat-cepat menyebut nama Tuhan.

“Kenapa Engkau, Tuhan, sangat suka menciptakan pengkhianatan?” tanyanya.

Lalu ia merasa sakit sekali. Dan kemudian tidak merasakan apa-apa.
***

Orang-orang masih menyaksikan rumah tawon melayang-layang di udara. Hujan tidak jadi turun, langit kembali terang, senja mulai merayap perlahan-lahan. Angin mereda, sisa-sisa keberingansannya tak cukup menerbangkan rumah tawon ke tempat yang lebih jauh.
Rumah perempuan tua itu telah rata dengan tanah. Tiang penyangganya patah, dinding kayunya ambruk, bandarnya ringsek, atapnya sebagian terenggut oleh angin, dan sawang-sawang yang menghiasi langit-langit kamar dan genting dibawa kabur oleh angin beringas tadi.

Orang-orang mengira perempuan itu tewas. Lama sekali ia tidak sadarkan diri. Untungnya, hanya betis kirinya yang terluka tertimpa kayu usuk. Mereka menggendongnya ke tempat yang lebih lapang. Lukanya dibalut dengan kain putih, darahnya mengental, tapi ia bergeming saja. Beberapa wanita mengipasi ubun-ubunnya bergantian dan memanggil-manggil namanya dengan suara lirih.

“Mbah Laila, Mbah Laila, Mbah Laila….”

Keheningan seperti menetes dari langit. Orang-orang terpesona begitu melihat mata redup itu membuka. Wajah penuh garis senja itu sedikit tersenyum. Tenang sekali. Angin juga berhenti mengalir, langit berwarna emas dari cahaya matahari yang menelusup ke rumah malam.

Mbah Laila minta bangun. Kini ia duduk membelakangi senja, meminum teh hangat yang diberikan oleh seorang perempuan tetangga. Kehangatan menjalari pembuluh darahnya. “Bagaimana nasib rumah tawon kosong itu?” tanyanya seperti mengigau. Tangannya gemetar, kakinya ingin bergerak tapi rasa sakit tak kuasa ditahan. Ia menggigit bibir. Orang-orang berbisik karena bingung mendengar pertanyaannya.

Perempuan tua itu memandangi rumahnya yang rata dengan tanah. Mulutnya membisu, hanya matanya yang berkaca-kaca, berpendar dengan cahaya rembulan. Senja benar-benar telah lewat, hilang ditelan malam.

Semenjak itu sampai sekarang ini perempuan tua itu selalu duduk di situ, membelakangi senja, seperti seseorang yang tengah menunggu.***

Patiayam, Januari 2007