Tuesday, November 11, 2008

Pelor Kebosanan

Jimat Kalimasadha

DIAM-diam tatapan mata itu seperti menikam.
Sekujur tubuh saya dijalari oleh suatu keanehan. Saya tidak mengerti kenapa lelaki kurus itu menatap saya begitu lama. Padahal, sebelumnya saya tidak pernah mengenal dia. Bahkan melihat pun barn pertama kali ini. Dan tatapan mata itu adaalah pelampiasan rasa rindu yang tertimbun berpuluh-puluh tahun.

"Kau adikku," katanya dingin.

Dia mendekati dan duduk di samping saya, di bangku panjang tempat menunggu bus. Ter¬minal semakin tenggelam dalam keriuhan orang-orang.

"Tunggu dulu, siapa Anda?' saya memotong dengan pertanyaan curiga. Dia hanya tersenyum. Menggeser tubuhnya dan men¬gibaskan rambutnya yang sepundak. Dia kembali menatap saya.

"Kau seperti adikku," ulangnya dengan suara yang makin dingin. Aku rindu sekali setelah bertahun-tahun tidak berjumpa den¬gannya."

"Aku tidak pernah punya urusan dengan ke¬cengengan orang lain."

Saya membuang muka, berusaha menepiskan segala perasaan yang memenuhi pikiran. Kecemasan dan kekalutan bercampur baur.

"Aku menyesal sekali. Namun sedikitpun aku tidak gemetar ketika menghunus pedang peninggalan ayah dan menebaskan ke batang lehernya."

Oh! Tanpa sadar saya menutup wajah de¬ngan telapak tangan. Tatapan mata lelaki itu kembari meluncur dengan kekuatan magis.

"Aku membunuhnya karena bosan."

"Bosan?" tanya saya (mungkin) dengan mata membelalak.

Sungguh tidak masuk akal. Mana mungkin seorang kakak membunuh adiknya sendiri karena bosan. Orang ini tentu sudah gila.

"Tidak! Tidak!" saya histeris. "Jangan teruskan cerita itu. Anda pasti sedang mabuk. Di sini bukan tempat yang tepat untuk mencer¬itakan pengalaman buruk.”

Entahlah tiba-tiba saya ingin, menangis. Semoga saya tidak sedang bermimpi. Saya be¬nar-benar membenci lelaki sinting ini.

"Aku tidak ingin kebosananku herubah menyerangku dan balik membunuhku. Dan sebelum itu terjadi aku harus mengambil sikap dengan membunuh dia," ia terus bercerita tanpa menghiraukan saya. "Ketika polisi menangkapku, aku sama sekali tidak memberikan perlawanan. Kemudian tanpa melalui peradilan macam-macam aku dikurung di penjara ibu kota. Aku tidak tahu dan memang sen¬gaja untuk tidak mengetahui berapa lama aku harus tinggal di dalam penjara," ujarnya mera¬cau. "Tetapi yang jelas aku telah bertahun-tahun berada di sana hingga aku semakin bosan. Maka, dengan otakku yang cemerlang, kuputuskan kabur dari tembok bangunan tua itu.”

"Pelarian! Kau seorang buron! Kau harus kutangkap dan kuserahkan ke polisi" ancam saya. Dan orang itu tetap tenang. Dingin.

"Silakan," tawarnya santai.

Anehnya, saya tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya.

"Ketahuilah bahwa sebentar lagi kota ini akan dilanda wabah penyakit bosan. Penyakit yang saya derita ini akan menyebar seganas raja singa singa dan AIDS. Hati-hatilah. Tapi aku tidak yakin orang-orang akan terselamatkan."

Betapa enteng orang ini berkhotbah. Nyaris tanpa ekspresi, tanpa beban ketakutan oleh akibat rumor yang disebar. "Mereka akan melampiaskan rasa bosan itu dengan membunuh keluarganya, kekasihnya, sahabatnya, dan siapa saja sebelum penyakit itu membunuh dirinya sendiri."

"Cukup!”

"Siapa namamu, sih?" tanyanya sinis.

"Apa urusanmu dengan nama orang lain? Kita tak,pernah memiliki urusan dan kepentin¬gan. Maaf, sampai ketemu lagi."

Saya masuk ke dalam bus, dan mening¬galkan terminal.

"Hai, tunggu! Kau jangan sembrono. Jawab dulu pertanyaanku. Kalau tidak kamu akan kubunuh. Wajahmu akan aku kuliti dan kusim¬pan lidahmu dalam almari."

"Tak murah membeli nyawa saya.

"Bukan nyawa. Hiduplah sekarang yang telah menjadikan nyawa menjadi barang murah."
"Aku tidak takut."

"Sebentar. Bukan perkelahian yang aku in¬ginkan. Jawablah pertanyaanku, meski sebe¬tulnya aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya ingin tidak semakin bosan berbicara denganmu, Gunadi," katanya.

"Dari mana kau tahu namaku?" la tidak menjawab.

Dia tahu nama saya. Tampaknya ia sangat menikmati kemenangan ini. Dan sikapnya se¬makin meneror saya. Tiba-tiba rambut saya di¬belai dan saya dipeluk erat. Dengan jelas saya mendengar dadanya yang berdegap. Air matanya menetes hangat di pundak saya meng¬hancurkan rasa rindu yang bergumpal-gumpal.

Terminal sedari tadi tetap belum berubah. Tersuruk-suruk dalam sihir keramaian. Saya pun sadar telah tersihir oleh lelaki ini. Saya lepaskan pelukan itu dan lari ke dalam bus. Begitu juga ia pun lari ke dalam sebuah bus yang berangkat lebih dulu.
Bosan? Lelaki itu membunuh adiknya kare¬na bosan. Dan Sebentar lagi kota ini akan ter¬ancam wabah penyakit bosan. Ini sungguh sa¬ngat menakutkan.

Pikiran saya kacau. Suara mesin bus berden¬yar-denyar. Saya mengusap pundak dan kehangatan air mata orang itu masih terasa. Aneh, lelaki macam itu masih bisa menangis dan terharu.

Soros mata yang dingin itu tak mampu saya lepaskan. "Lelaki misterius. Siapa dia sebe¬narnya?" basin saya penasaran.

Mungkinkah suatu saat saya akan mem¬bunuh Mena, istri saya, hanya karena rasa bosan? Mungkinkah saya membunuh Gela,. anak saya yang minis itu, hanya karena bosan?
Belum sempat membuang pikiran-pikiran kotor itu, mendadak bus di depan saya terjungkal ke bawah jembatan setelah menabrak sebuah sedan.

Darah menyembur mewarnai air sungai. Sebagian penumpang tewas dan lainnya luka-lu¬ka.
Kengerian belum juga tuntas. Lelaki penjara dengan wajah berlumur darah berusaha keluar dari himpitan daun pintu mobil. Separoh tubuhnya terjepit tak dapat dilepaskan dengan sisa tenaganya.

"Kau pikir sopir bus itu telah mengantuk?" tanyanya ketika saya ingin menolongnya.

"Tidak, " jawab saya. "Saya tahu di kepala sopir itu terdapat bekas tembakan."

"Akulah yang menembaknya. Aku bosan de¬ngan perjalanan yang tak pernah sampai. Aku tidak ingin kehilangan diriku terlalu lama di te¬ngah perjalanan. Aku ingin sampai sebelum rasa bosan itu lebih dulu membunuhku."

Saya semakin tak mengerti. Pikiran saya sa¬ngat kalut. Pistol yang masih digenggamnya itu saya rebut. Di detik berikutnya dua pelor telah bersarang di jantungnya.

"Sekarang, sampailah perjalanan Anda," teriak saya.

Patiayam 2008

0 comments: