Monday, November 10, 2008

Garis Mata Pisau

Cerpen Jimat Kalimasadha

TATAPAN matanya sangat dalam dan saya merasa mata itu sudah sangat letih. Alis matanya tipis melintas di atas kelopak yang kecil. Dengan bentuk mata semacam itu, ia se¬lalu kelihatan sangat serius. Tidak saja dikarenakan oleh banyaknya persoalan yang harus dipikirkan, mungkin juga karena terlalu banyak bermeditasi. Dalam pandangan saya, mata itu sering berkilat seperti pisau, mengungkapkan banyak kilatan yang tak mam¬pu saya tangkap.

Hampir lima tahun ini, ia memang lebih banyak menyaksikan pemandangan di alam kasat mata dari¬pada barisan gunung-gunung, pohon-pohon rindang, atau laut berombak. Ia sangat jarang menyaksikan biru langit dan terang rembulan di halaman rumah kecil¬nya. Waktunya nyaris habis untuk bergulat dengan dunia jin, dunia setan, dunia malaikat, dunia roh, dunia leluhur, dunia gendruwo. Bagi saya wilayah itu sa¬ngat jauh dan tak bakal bisa terjangkau oleh pesawat apapun. Tetapi baginya daerah itu terasa sangat dekat dan indah, bahkan ia sering bertamasya ke sana. Dunia yang telah memberinya inspirasi tentang kehidupan setelah kehidupan, tentang kemanusiaan, tentang apa¬-apa yang sebelumnya ia sangsikan, dan juga tentang obsesi.

Saya pernah diajak memasuki wilayah kasat ma¬ta tersebut. Saya mau, tetapi saya tidak mampu. "Ini mungkin bukan bagianmu, bukan garismu yang harus kau lalui, Lik,” ujarnya pelan. "Tetapi aku akan terns melanjutkan perjalanan ini sampai gegayuhanku ter¬capai."

Saya diam. Menebak-nebak apa di balik kalimat yang diucapkan. Saya sudah belajar meditasi, memusatkan pikiran, bahkan siap berhadapan de¬ngan setan, jin, atau para leluhur yang berbicara dengan simbol-simbol sasmita. Saya siap. Saya mau, tapi saya tidak mampu. "Pintu komunikasimu memang masih tertutup," tandasnya.

Setiap malam saya diajak berbicara, merenung, berfilsafat tentang hal-hal sederhana. Tetapi jauh di dalamnya sering saya dapati sumur misteri tanpa dasar. "Apa kau pikir yang namanya setan itu pasti jahat?" tanyanya suatu malam di tengah perjalanan menuju sebuah makam di daerah Pengging Boyolali.

"Ya, saya yakin. Ayat-ayat suci bilang begitu," jawab saya.

"Agama selalu mengajarkan yang paling ideal. Padahal persoalan yang tengah kita hadapi ini sudah sangat mendesak dan riil sekali. Saya harus bertin¬dak, Lik," jawabnya. "Saya akan mencari pesugi¬han."

Saya terkejut. Sorot matanya saya perhatikan. Ki¬latan pisau di mata bawah alis tipis itu demikian tajam. "Biarlah saya akan menyembah setan, demit, leluhur, atau apapun, asal dia sanggup memberiku uang untuk mengembalikan hutang ayahku. Jika benar bahwa uang pesugihan adalah haram, pasti orang-¬orang yang merasa memiliki piutang kepada ayah tidak akan bersedia menerima pengembalian," ujarnya.

"Kalau mereka tetap menerima?"

"Saya akan menyangsikan mereka memegang teguh agamanya."
Tapi siapakah yang berani mengambil sikap de¬mikian. Kebanyakan orang tidak berani bersikap ter¬hadap uang. Apalagi pada saat-saat sulit seperti ini.
***

HAMPIR semua tempat pesugihan sudah ia kun¬jungi. Saya selalu diajaknya. Saya ingin membantu karena saya merasa menjadi bagian keluarga. Mes¬ki demikian, toh saya tetap tidak bisa berbuat apa-apa. "Kamu tak perlu terus-menerus mengikutiku. Keluarga ini telah menjadi perahu yang hampir pec¬ah dan sebentar lagi dapat dipastikan bakal tenggelam ke dasar kehancuran. Selamatkanlah dirimu. Biarkan aku sendiri yang tenggelam."

"Sedapat mungkin perahu ini tidak tenggelam. Siapa tahu kita masih bisa menyelamatkannya. Katanya kita harus bersabar, tetapi tidak nrimo begitu saja."
Ia tersenyum.

Tempat pesugihan yang pertama kali kami datangi adalah Sendang Bulus Jimbung. Bulus setan itu bema¬ma Cemeng dan Remeng. Ia sudah siap mati dengan kulit belang-belang asal bulus pesugihan itu sanggup memberikan uang. Ritual selamatan dan sesajen su¬dah dilakukan. Tetapi entah karena apa bulus tersebut, yang terkenal sangat Sakti, gagal memberikan pesugihan. "Saya tidak sanggup. Ki Cemeng dan Nyi Remeng tidak bisa menolong Saudara," kata juru kunci pasrah. Pak Ruri, juru kunci Pesugihan Jim-bung, itu memberikan referensi agar kami ke Bayat saja yang masih satu kabupaten. Katanya, orang-orang yang ke sina belum pernah gagal.

Kami kemudian dikenalkan dengan juru kuncinya. Di situ ternyata banyak juga orang yang melakukan transaksi nyawa demi uang, demi hutang yang tak mampu dilunasi dengan bekerja biasa. Orang-orang rela mengorbankan anak, istri, atau orang tuanya sendiri, asalkan diberi uang untuk membayar hutang dan modal kaya.

"Tidak. Saya tidak mengorbankan siapa-siapa. Diri saya yang akan menjadi tumbalnya. Saya ingin menjual diri saya kepada setan demi uang untuk melunasi hutang-hutang saya. Biarkan kelak saya menjadi begundal setan di neraka," katanya mantap dengan sorot mata berkilat.

Juru kunci itu lalu memejamkan mata, meman¬dang ke alam lain untuk berkomunikasi dengan sang setan, yang katanya bernama Bu Lastri dan Mbah Egrandoyo. Kami juga melakukan hal yang sama.
"Aga yang kaulihat tadi, Lik?" tanyanya sesampai-di rumah.
"Tidak melihat apa-apa"

"Aku melihat kegagalan akan menghadang kita kembali. Tapi biarlah kita coba. Kita tidak boleh mendahului kehendak setan." Kami tertawa-tawa sambil sadar bahwa usaha yang kami lakukan sia-sia. Sia¬pa tahu, ya siapa tahu. Bu Lastri dan Mbah Egrangdoyo mungkin masih memiliki kekuatan simpanan.

Dan benar. Usaha yang kedua ini juga gagal. Saya heran. Kegagalan tampaknya malah menambah se¬mangat dan rasa penasaran. Sebuah tempat pesugihan di daerah Slawi dijadikan sasaran berikutnya. Namanya Mbah Buncing. Perempuan bermata laki-laki ini mempunyai aura yang menakutkan. Saya begidik. Memandang perempuan itu bulu-bulu saya merinding.
Dan, yang ini juga gagal.
Kami lari ke Pekalongan, ke Dewi Lanjar. Bahkan ke situ pun tak ada kesanggupan apalagi keberhasilan. Sementara udara rumah kami sudah benar-benar kental dengan aroma setan. Kamar gelap penuh bau kemenyan dan kembang. Sebuah almari besar berdiri di sudut kamar. Sekali-kali saya buka, masih juga kosong. Kapan almari ini dipenuhi dengan uang ajaib milik setan itu? batin saya.

Gagal ke Dewi Lanjar, usaha mencari pesugihan dilanjutkan ke Sukorejo. Juru kuncinya optimis akan dapat membantu. Kami bahkan disodori sebuah surat perjanjian di atas meterai. Kalau gagal, uang sajen dijamin kembali. Toh, tetap juga gagal. Meski tidak semua, uang sajen dan selamatan dikembalikan sesuai dengan pejanjian yang telah dibuat.

Mengapa semuanya tak ada yang berhasil? Atas saran orang pintar kami lalu pergi ke Goa Langse yang terletak di tebing Pantai Selatan. Goa itu benar-benar berada di dinding tebing. Untuk mencapainya kami harus menuruni tangga kayu dan berpegangan dengan tali. Itu pun masih belum juga berhasil. Kemana lagi, kemana lagi?

"Mana buktinya setan bisa memberikan pesugihan? Jika benar setan itu licik dan jahat, pasti mereka telah memakanku dengan sadis dan menukarnya dengan uang yang aku butuhkan. Mana?" ia bicara dengan perasaan yang sulit saya lukiskan. Kesal dan nyaris putus asa.
***

KADANG-KADANG saya berpikir mungkinkah kegagalan-kegagalan ini juga bagian dari kelicikan setan? Setan-setan itu pura-pura berjanji akan berusaha menolong dengan tujuan bisa menyeret kami ke dalam wilayahnya. Rasa penasaran itu sengaja diciptakan agar kami terus-menerus mendatangi tem¬pat pesugihan satu ke tempat pesugihan lainnya.

"Kapan kita akan mengakhiri usaha ini?" Saya duduk di depannya. Kopi di hadapan kami sudah mendingin. "Lebih baik kita bekerja dengan wajar seperti dulu."

"Suatu hari nanti saya bisa membuktikan bahwa pesugihan itu memang ada."

"Bang Ganang tak usah ambisius begitu. Orang sih boleh punya obsesi. Tetapi harus juga punya tar¬get waktu. Apakah sampai mati nanti akan tetap men¬cari pesugihan?"

"Aku tidak tega menyaksikan orang-orang menderita."

"Mestikah harus membantu mereka dengan mencari pesugihan?" protes saya.
"Sunan Kalijaga pernah membantu orang-orang kesrakat justru dengan mencuri."
"Pada saatnya Sunan Kalijaga bertobat dan berhen¬ti menjadi seorang pencuri."
"Itu soal takdir, soal momentum, Lik," Jawabnya serius. "Kebetulan saja pertarungan antara ambisi berbuat jahat dan niat bertobat pada Sunan Kalijaga dimenangkan oleh kesadaran bertobat."

Garis-garis pisau di matanya berkilat. Saya tahu, garis-garis itu sedang bertarung untuk memenang¬kan antara ya dan tidak, antara baik dan buruk sesuai dengan keyakinan nuraninya. Garis-garis pisau di matanya saling membabat, menebas, dan bertempur sampai salah satu ada yang kalah dan menang. Akhir perta¬rungan yang selalu ditandai dengan kekalahan dan kemenangan itulah yang dulu pernah ia namakan takdir. Tampaknya ia memilih hidup sesuai dengan takdirnya, dan tidak mengacuhkan kelak akan ma¬suk neraka atau surga. Dan kini ia sedang menung¬gu momentum itu.

Tatapan matanya sangat dalam dan saya merasa mata itu sudah sangat letih. Alis tipis melintas di atas kelopak matanya yang kecil. Mata itu terus menatap saya.**

Patiayam, 1997

1 comments:

Unknown said...

Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua,
Sengaja ingin menulis sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang kesulitan masalah keuangan
Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar 750juta saya sters hamper bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu dengan kyai ronggo, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI RONGGO KUSUMO kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan penarikan uang gaib 3Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 3M yang saya minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada. Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi kyai ronggo kusumo di 082349356043 situsnya www.ronggo-kusumo.blogspot.com agar di berikan arahan. Toh tidak langsung datang ke jawa timur, saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sama baik, jika ingin seperti saya coba hubungi kyai ronggo kusumo pasti akan di bantu