Saturday, November 8, 2008

Mas Soni dan One Day-School

Cerpen Jimat Kalimasadha

Sudah bosan sebenarnya, saya bertengkar dengan Mas Soni setiap hari. Sudah saya coba untuk menyuruhnya berangkat tidur lebih awal, tetapi dia selalu begadang hingga larut malam. Sedangkan saya selalu bangun pukul empat pagi, terlalu capek untuk bekerja sendiri: memasak, menyiapkan sarapan, memandikan Bulan dan Bintang, menyiapkan baju, kopi Mas Soni, menyemir sepatu, berdandan, dan, mengantar Bulan ke sekolah. Dan karena itu, saya sulit menghentikan kebiasaan mengomel.

“Kamu memang tidak bisa bersikap adil dengan istrimu. Kamu tega dan senang melihat istrimu menderita. Kamu enakan tidur, bangun siang, sarapan, dan mengurus diri sendiri lalu berangkat kerja. Tidak pernah mau bantu-bantu. Kau pikir istri hanya masin untuk…,” sejenis itulah omelan saya setiap pagi.

Dan saya paling marah kalau dianggap lebih cerewet daripada burung beo.

“Kamu pikir, siapa sih yang paling menderita di antara kita?” hardik Mas Soni dengan nada tinggi mencoba mengimbangi sewot saya. “Saya atau kamu?”

“Ya, jelas saya dong. Saya sudah bangun, kamu masih tidur. Saya sudah kerja, kamu masih tidur. Hampir 20 jam saya bekerja, sedangkan kamu, apa… Separoh dari jam kerjamu itu adalah membual, menggombal,” tukas saya dengan suara lebih tinggi dan ketus. “Sadar nggak, sih kamu?”

“Lama-lama mendengarkan omelanmu itu hidup saya menjadi lebih menderita dari siapapun.”

“Bohong. Kamu bohong besar,” saya tersenyum sinis dengan menggerakkan bibir ke atas. Bibir saya itu tidak saja sinis, gigi taring saya jadi kelihatan sedikit, dan saya berharap imajinasi Mas Soni melintasi wajah vampir yang sangat menakutkan...
Biar saja, dia mengatakan saya ini memang sudah sangat berbeda dan aneh dengan ketika kami masih pacaran enam tahun lalu. Saat itu saya adalah perempuan lembut, feminis, santun dan sensual… Sebegitukah cepat bahwa perkawinan tak lebih dari usaha menciptakan sistem baru untuk membohongi dan menipu diri sendiri? Seperti fatamorgana, nampak seakan ada kesejukan di gurun pasir yang panas mengkilat tapi semua ternyata bullshit!
***

Jelas, dengan begitu anda pasti berkesimpulan keluarga saya bukanlah keluarga yang bahagia. Apalagi dengan kehadiran dua anak kami, Bulan dan Bintang. Mereka menciptakan kerepotan yang luar biasa. Kebiasaan hidup saya berubah total dan selalu uring-uringan tentang hal-hal remeh-temeh. Saya semakin temperamental dan impulsif. Belakangan ini saya jadi malas melayani Mas Soni dan sebaliknya, Mas Soni malah sering ingin. Kesibukan membuat saya sangat letih, hidup kami menjadi lungkrah dan monoton. Kadang juga terlintas prasangka buruk, adakah suami saya punya keinginan untuk berselingkuh dan melakukan begituan dengan perempuan lain?

Memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti itu justru membuat system saraf otak saya makin berkerenyit. Belum lagi pertanyaan-pertanyaan Bulan sering merepotkan saya. Misalnya begini.

“Ma, apa yang menyebabkan wanita di TV itu bisa hamil?” tanyanya dengan enteng sekali ketika melihat sinetron Indonesia. “Dia kan belum kawin...”

Jantung saya hampir berhenti. Ingatan saya langsung menerobos-jebol dinding masa lalu tentang kehamilan dia yang kurang lebih juga sama dengan tokoh sinetron itu. Saya gelagapan menjawab pertanyaan itu dan perlu berkonsultasi dengan seorang teman psikolog yang sering mengisi rubrik “Konsektasi” pada sebuah majalah wanita.
Atau ketika saya kelepasan mengumpat Mas Soni dengan ungkapan kasar di dekat Bulan yang sedang bermain pasar-pasaran. Mendadak dia memotong pembicaraan. “Ma, apa artinya sodrun?”

Heh, saya ingin tertawa, tapi saya telan kembali. Bagaimana coba menjelaskan pertanyaan itu, sekalipun dengan berbohong...
***

Pertanyaan-pertanyaan anak putri saya itu seringkali seperti batu kerikil yang terlempar dari sebuah ketepel lalu mengenai kepala bagian belakang. “Apakah Mama dan Papa perlu berpisah agar kami tidak mendengar suara gaduh setiap pagi?” protes Bulan mengejutkan. Bocah kelas dua SD itu rupanya merekam pertengkaran kami.

“Kamu senang kalau Mama dan Papa berpisah? Begitu?”

Bagi saya kata ‘berpisah’ tentu memiliki konotasi yang lebih dari sekedar berpisah biasa. Bahkan kata tersebut bisa lebih dari sekedar bencana besar.

“Tanyakan saja pada diri Mama. Itu bukan urusan aku,” jawabnya.

“Mengapa kamu bilang begitu?”

“Mama dan Papa tidak bisa jadi contoh,” jawab Bulan spontan.

“Siapa yang mengajari kamu berkata kaya gituan?” Tanya saya menyelidik. Jangan-jangan papanya yang membisiki kosa kata kasar begitu. “Siapa Bulan?”

“Bu Guru Dita.”

“Apa, sih kata Bu Guru?”

“Bu Guru bilang, kalau orang dewasa bertengkar mereka tidak boleh dicontoh. Nah, kalau Mama dan Papa bertengkar berarti tidak bisa jadi contoh, dong. Mereka yang bertengkar juga harus dipisah, tidak boleh berkumpul. Itu hukumannya...”
Plong...Lega. Dugaan saya ternyata salah. Pikiran anak kecil. Tapi, tidak sesederhana itu seandainya pertanyaan Bulan benar-benar dikatakan Mas Soni.
***

Sebuah peristiwa semakin memperkeruh suasana. Waktu itu saya mengantar Bulan ke sekolah. Saya sengaja menunggui dia sambil melihat bagaimana dia belajar, bermain, dan berhubungan dengan lingkungannya. Sesungguhnya saya hanya ingin menyaksikan sejauh mana perkembangan anak saya di sekolah yang menurut para tetangga dianggap sebagai sekolah ‘mahal’. Jujur saja, saya kurang setuju Bulan bersekolah di situ. Sekolah itu diumulai pukul 7:30 dan selesai pukul 16:00.

Suami yang ngotot menyekolahkan Bulan ke one-day school itu. Alasannya: kurikulumnya bagus, fasilitasnya lengkap, guru-gurunya berkualitas, pelajaran bahasa Inggrisnya aktif, pendidikan agamanya mantap, dan, katanya, itu sekolah pertama di kota kami yang menerapkan competency based curriculum. Singkatnya, metode pembelajaran yang diterapkan adalah yang paling sophisticated. Pokoknya kaya sekolah-sekolah di Melbourne yang menerapkan fun learning, kata Mas Sony serius.

Hari itu saya mendapati Bulan sedang belajar di luar kelas bersama teman-temannya. Mereka dikumpulkan oleh Bu Guru Dita di halaman menuju sebuah taman bunga kecil untuk melakukan observasi. Saya melihat anak-anak begitu akrab dengan Bu Guru yang cantik ini: masih muda, sabar, lembut, dan seksi belaka... Dia sangat mengenal karakter anak didiknya dan tahu akan keinginan bocah-bocah itu.

“Bunga bougenvile ini tampak indah. Menurut kalian, mengapa bunga ini kelihatan indah dan segar?” tanya Bu Dita. “Apa pendapatmu Vira?”

“Mendapat sinar matahari pagi,” jawab Vira mantap.
“Betul sekali. Nah, bagaimana dengan pendapatmu Bulan?”
“Ehm... Minum banyak dan mandi pagi,” jawab Bulan ragu. Tampak dia menjawab asal-asalan.

Teman-temannya tertawa. Hanya Bulan yang tidak. Bu Dita rupanya memahami persoalan ini. “Jawaban Bulan juga betul. Tidak hanya manusia yang perlu minum dan mandi. Bunga juga butuh air untuk minum dan mandi. Oleh karena itu kita harus rajin menyiramnya agar bunga-bunga di taman tetap indah dan segar,” wanita itu menjelaskan. Lalu dia mengkaitkan dengan kebiasaan anak-anak, “Siapa yang tadi pagi mandi?”

“Saya...” anak-anak itu menjawab serentak seperti koor panjang sambil mengangkat tangannya.

“Siapa yang tadi pagi minum susu?”

“Saya....” jawab mereka serentak. Saya melihat Bulan dari kejauhan juga ikut mengangkat tangan tinggi-tinggi dengan yakin, karena tadi pagi dia benar-benar minum susu.

“Siapa yang tadi pagi sholat Subuh?”

“Saya...” jawaban anak-anak juga serentak. Bulan kelihatan ragu karena dia tidak pernah sholat. Dia mengerti, tidak ada kebiasaan sholat lima waktu dalam keluarga kami. Tapi dia takut dengan kejujurannya sendiri. Dia takut tidak seperti teman-temannya. Meskipun di antara teman-temannya itu, barangkali, ada juga yang seperti Bulan. Anak saya mengangkat tangannya setengah dengan menengok kanan-kiri.

“Siapa yang tadi pagi membantu ibu membersihkan tempat tidur?” tanya Bu Dita semakin semangat.

“Saya...!!”

Bulan mengangkat tangannya lebih tinggi meskipun tidak penuh. Kali ini dia lebih berani. Dia juga tidak menengok kanan-kiri lagi. Dia telah melakukan kebohongan terhadap dirinya sendiri hanya sekedar ingin memperoleh perasaan tenang. Anehnya, Bu Dita justru senang dan bangga mendapatkan jawaban manis seperti itu. Dia tidak berpikir bahwa sebenarnya dia telah mengajarkan kebohongan pada anak-anak kecil demi mendapatkan rasa aman. Apa jadinya jika kebohongan-kebohongan kecil semacam ini tertanam terus-menerus selama bertahun-tahun? Kalau kebohongan-kebohongan ini –mungkin menurut kebanyakan orang dianggap hal kecil- biasa dilakukan setiap hari, adakah sekolah kita masih memberikan kesempatan bagi siswanya untuk berbuat jujur?

Adakah ruang bagi anak-anak untuk mengungkapkan kejujuran dirinya sendiri, meskipun itu tidak sesuai dengan nilai kebaikan yang diharapkan? Kepalsuan-kepalsuan macam apa lagi yang kelak dilakukan oleh generasi anak-anak saya? Sesampainya di rumah saya telah mengambil keputusan bulat untuk memindahkan Bulan dari one-day school yang sophisticated itu. Saya katakan kepada suami bahwa Bu Dita telah melakukan kesalahan fatal. Kali ini kami bertengkar hebat lagi. Dia tidak setuju, ingin mempertahan Bulan. Dia tetap tidak percaya dan sayalah yang justru dianggap telah berbohong.***

Patiayam, Juni 2004

0 comments: