Saturday, November 15, 2008

Surat Cinta di Pucuk Pisau

Cerpen Jimat Kalimasadha


SETELAH membunuh dua anaknya yang masih di bawah usia lima tahun dan istrinya, dia menulis surat cinta lalu menancapkannya di ujung pisau yang masih berlumur darah segar. "Saya sangat mencintai mereka. tetapi kata-kata tak bisa melukiskan besarnya penderitaan yang saya alami. Saya terpaksa melakukan hal ini agar mereka terhindar dari penderitaan yang lebih jauh, jika mereka masih terus hidup bersama saya. Lebih baik mereka menderita lima menit di ujung pisau ini daripa¬da harus menderita se¬urnur hidup," ungkapnya dalam surat tersebut.

"Saya tak ingin hidup lebih lama lagi. Cukup sampai ketika saya bisa membunuh sebanyak mungkin orang yang secara indah menginginkan kebahagiaan abadi. Bunuhlah saya ....

Tetangga dekatnya mengetahui pembunuhan itu dua hari setelah tercium bau busuk yang masuk ke dalam kamarnya. Surat cinta itu ditemukan di antara mayat anaknya yang tewas telentang dengan dada kiri bagian bawah terluka. Darah telah mengering di atas seprei dan sebagian merembes ke dalam kasur. Wajah dua bocah itu tersenyum, sama sekali tidak menggambarkan penderitaan. Sementara mayat istrinya terbaring di bawah pintu dapur, juga dengan luka yang sama.
"Padahal satu minggu yang lalu dia berjanji naen¬gajak anak dan istrinya makan malam di restoran sepulang dari kerja. Dia juga mengatakan sangat rindu kepada anak-anaknya jika seharian tidak bertemu dan semakin sayang kepada mereka," kenang Bu Nafik di depan suaminya.

"Apa yang telah terjadi pada diri Songa?"

Pertanyaan tersebut tak pernah terjawab oleh pasangan suami istri itu. Barangkali Songa baru stress. Barangkali dia tersinggung oleh perkataan istrinya. Barangkali bisnisnya sedang merugi. Barangkali pacar gelapnya menuntut untuk dikawini. Barangkali juga ia putus asa menyaksikan pertikaian para elit politik yang tak pernah selesai. "Nasib telah men¬gawal setiap kehidupan. Semoga arwah anak dan istri Songa memperoleh tempat yang damai," bisik Bu Nafik berdoa.

Tak hanya Bu Nafik, orang-orang Kampung Ping¬gir itu juga tak paham jalan pikiran Songa. Baru kali ini ada seorang laki-laki membunuh anak dan istrinya karena dia sangat mencintai mereka. Kampung yang bisik, gerah, kotor, dan sarang pelarian segala macam sampah kehidupan itu pun gempar. Ya, baru kali ini terjadi pembunuhan yang dilampiri dengan surat cinta.
"Kira semua harus waspada terhadap Songa. Saya kira ini bukan surat cinta biasa yang dikirimkan kepa¬da anak istrinya. Ini lebih tepat disebut surat ancamaan," ujar Gembo.
"Secepatnya kita harus tangkap Songa," jawab Kombel.

"Ya. Baca ini. Dia mengancam akan membunuh sebanyak mungkin orang yang secara indah menginginkan kebahagiaan abadi."

"Apa maksud katimat ini?" tanya Rampi.

"Goblok. Masa gitu aja gak tahu. Kalimat itu intinya Songa mau bunuh orang lagi. Aku tak peduli dengan omongan gila Songa. Kita harus tangkap karena dia mau bunuh orang dan berani mengotori Kampung Pinggir dengan darah.”

"Kira harus tangkap sebelum kita bermimpi dibunuhnya."

"Bukankah akan lebih baik jika kita serahkan masalah ini kepada polisi?" usul Rampi serius.

“Ya. Tapi masihkah kita percaya kepada polisi?”
***

SAMPAI hari ini tak seorang pun yang tahu ke mana Songa melarikan diri. Tak seorang pun yang mengetahui tempat persembunyian laki-laki berwajah tirus berjambang tebal itu. Dia hilang bagai ditelan kegelapan jurang Tartarus yang hitam dan sangat dalam. Siapa pun tahu Songa tak pernah seperti ini. Dia orang yang mudah dicari, meskipun dia sering pulang malam. Aneh.

"Tak ada yang aneh dengan Songa. Saya yakin dia tidak menghilang. Dia tidak bersembunyi bahkan tidak ke mana-mana. Dia berada di sini," kata Rasuk pagi-pagi sekali. Pemuda ini berbicara dengan wajah sumringah.

"Di sini? Jadi selama ini dia berada di kamarmu? Kau sembunyikan, ya? Jangan sekali-kali melindungi buron, Rampi," gertak Kombel. "Katakan di mana dia?"
"Tadi malam dia bersama saya, tinggal di dalam mimpi saya. Dan sungguh saya merasa senang telah menjadi tempat bagi seorang manusia yang membunuh demi kebahagiaan abadi manusia lain. Se¬dangkan dia sendiri hidup dari lorong mimpi satu ke lorong mimpi yang lain. Alangkah bangganya ji¬ka selama tidur saya bermimpi dan bisa bersamanya."

"Kama sudah gila. Kamu sedang kemasukan setan."

"Tidak. Sama sekali tidak. Tapi, seandainya kamu bilang seperti itu, saya juga tidak peduli. Bagi saya bertemu dengan Songa dalam mimpi adalah kebaha¬giaan sekaligus kemewahan."

"Sungguh tidak masuk akal."

"Bagi saya kebahagiaan adalah pertemuan saya dengan Songa. Bertahun-tahun saya mencari kebahagiaan. Setiap orang yang katanya bisa mendatangkan kebahagiaan sudah saya coba datangi. Namun tak satu pun yang benar-benar bisa membuktikan omon¬gannya. Saya nyaris putus asa. Sampailah saya pada kesimpulan bahwa kebahagiaan adalah garis cakrawala. Ada. Tidak ada. Kekosongan. Kesia-siaan yang tak berujung..."

"Ah, bicaramu sok filsafat. Omong kosong. Setiap hari kamu bilang bahwa kamu selalu bahagia. Kamu lupa dengan kata-katamu sendiri. Bukankah kebahagiaan ada di dalam botol minuman keras, di kamar ciblek, di bilik sempit perempuan nakal, di bawah ketiak waria yang amis, dan di tempat judi yang setiap malam kau kunjungi? Munafik!”

"Itu bukan kebahagiaan abadi, Kombel. Itu bukan kebahagiaan yang sebenarnya aku cari," sahut Rasuk berapi-api. "Songa telah memberikan pencerahan. Dan saya yakin dia sedang membawa kabar yang indah. yakni kematian."

Kombel tertawa sinis. Dia tidak percaya dan memang tidak pantas kepada Rasuk. Setiap orang memang mati, tetapi tidak setiap orang akan bahagia dengan kematian itu. Kalau saja kematian menjanjikan kebahagiaan, mengapa selalu saja ada orang yang takut mati?

"Kehidupan, kata Songa, lebih sederhana dari telenovela. Oleh karenanya kita tidak usah membikinnya bertele-tele, berulang-ulang, dan seolah-olah berliku-liku. Mari kita meringkas hidup agar kita sampai pada pintu gerbang kebahagiaan abadi. Mari kita buat monumen kematian yang indah agar semua orang ingin mendatanginya,” ujar Rasuk seperti seorang khotib berapi-api.

Rasuk terus berbicara tentang kematian Yesus, tentang tokoh Prometheus, sang dewa pencuri api dalam Mitologi Yunani yang kematiaannya mengabarkan kebahagiaan untuk dirinya dan umat manusia. Rasuk terus berbicara, hingga ia kehabisan suara…
***

BENAR juga Rasuk mati esok harinya. Mayatnya ditemukan di atas tempat tidur dengan dada kiri bagian bawah ada luka menganga.. Darah segar masih basah di atas seprei bergambar kartun Shinchan. Masyarakat Kampung Pinggir kem¬bali gempar. Seperti kejadian sebelumnya di dekat mayat Rampi tergeletak pisau dengan selembar surat cinta.

"Saya sangat mencintai Rasuk. Ttiapi kata-kata tak bisa melukiskan besarnya penderitaan yang saya alami. Saya terpaksa melakukan hal ini agar Rasuk terhindar dari penderitaan yang lebih jauh, jika dia masih terus hidup bersama saya. Lebih baik dia menderita lima menit di ujung pisau daripada harus menderita seumur hidup," ungkap surat tersebut. "Saya tak ingin hidup lebih lama lagi. Cukup sampai ketika saya bisa membunuh sebanyak mungkin orang yang secara indah menginginkan kebahagiaan abadi. Bunuhlah saya..."

Persis! Dapat dipastikan ini surat Songa. Dan dengan demikian si pembunuh Rasuk adalah Songa. Tetapi di mana dia sekarang? Kejadian yang lama tak boleh terulang lagi. Tetapi siapa yang bisa menghen¬tikan? Ketika tubuh Rasuk diautopsi jantung pemuda itu hancur berantakan.
"Ini harus dihentikan, sebelum semua orang Kampung Pinggir mati dibunuhnya"' teriak Kombel.

"Siapa yang bisa menghentikan? Selama masih ada orang yang tidur dan bermimpi, Songa tak bisa kita cegah. Selama masih ada orang yang mencari kebahagiaan abadi, Songa akan tetap melakukan pembunuhan dengan menulis surat cinta di pucuk pisau. Semakin banyak orang mendambakan kebahagiaan abadi, akan bertambah pula koban yang jatuh,” jawab gembo.

“Satu-satunya cara kita harus tangkap Songa. Kita harus bisa bunuh dia. Lebih baik kita cari dia sampai ke liang semut daripada kita melarang tidur dan bermimpi warga Kampung Pinggir.

"Tidak bisa."

"Bisa. Dan harus bisa.
Gembo tertawa. Tawa yang menggambarkan seorang jagoan yang panik, kalah dan kehilangan cara mengalahkan lawan. Keangkuhan yang selama dia pupuk subur dalam hatinya, tiba-tiba lumer begitu saja.

"Kita serahkan kepada aparat.”

"Itu bukan cara kita. Kita sudah yakin orang-orang di sini bahwa kita punya hukum sendiri. Kalau kita serahkan kepada aparat, itu nama bukan mencari keadilan keadilan. Lagi pula, apakah masih ada keadilan di negeri ini?" tanya Gembo.
"Serahkan kepada penguasa saja."

"Sudan lama kita juga tidak punya penguasa. Sekarang penguasa itu bernama kita- Kita ini penguasa sah. Kombel."

Belum selesai mereka berdebat. tiba-tiba Pak Nafik yang mengabarkan istrinya juga tewas dengan dada kiri sebelah bawah terluka.

Mereka terperanjat. Wajah mereka nampak pucat. Mereka bahkan tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Dalam batin mereka berkecamuk kecemasan. Jangan-jangan sebentar lagi mereka yang menjadi giliran berikutnya.***

Bukit Patiayam

0 comments: