Wednesday, November 12, 2008

Kehamilan Anggur

Cerpen Jimat Kalimasadha

Belakangan ini saya merasa seperti punya musuh. Perasaan saya seperti berperang. Sudah beberapa hari saya sering memikirkan penyebab kegelisahan ini. Tapi entahlah. Pikiran saya dikejar-kejar oleh sesuatu yang tidak jelas. Lebih dari seratus kali saya memejamkan mata, tapi sedetik pun saya tidak bisa tidur. Kamar yang sebelumnya terasa nyaman, tiba-tiba berubah menjadi lorong yang pengap dan menakutkan.

Telah saya coba untuk memahami kekalutan ini. Sudah! Dan, saya pikir-pikir, ya, saya pikir, musuh saya adalah musik dan jendela. Rasanya tidak masuk akal tapi pikiran saya selalu ke situ. Dua hal itu yang menyebabkan saya bertempur dengan kegelisahan. Kaset dan CD musik-musik klasik karya Beethoven, Mozart, Vivaldi, dan sejenisnya itu yang menjadi musuh saya.

“Kau tidak boleh mendengarkan musik lain selain musik-musik ini,” suruh Sonil, suami saya, beberapa hari lalu sambil melempar kaset Build Your Baby’s Brain yang berisi album klasik karya Mozart. Dia memutarkan Sonata for 2 Pianos dengan senyum yakin bahwa janin yang saya kandung ini kelak lahir menjadi bayi yang cerdas. Hanya dengan mendengarkan musik klasik? Ah, omong kosong, Sonil. Omong kosong.... Kau salah paham. Kau salah membaca.

“Kau pikir hanya musik klasik itu yang bisa membuat bayi dalam rahim saya ini bisa cerdas?”

“Musik yang selama ini kau dengar adalah musik orang-orang bodoh dan berselera rendah,” bantahnya. “Musik rock. Itu bukan musik orang hamil. Musik orang-orang tak bermoral, orang-orang yang tidak punya aturan. Saya tidak rela bayi dalam rahimmu kau tindas dengan musik murahan seperti itu.”

Mengapa Sonil tiba-tiba berubah brengsek. Setiap hari ia membeli kaset dan CD album-album klasik. Puluhan kaset dan CD yang berisi hampir lima ratus lagu-lagu klasik berserakan di kamar tidur. Sedangkan semua kaset yang berisi lagu-lagu kesayangan saya, ia masukkan ke dalam tas koper dan ia taruh di atas rak buku yang paling tinggi. Tentu saja dengan perut membuncit seperti ini mustahil saya dapat mengambilnya dan memutarnya kembali.

Kurang ajar kau, Sonil. Bukankah dulu kita pernah bersepakat sebelum memutuskan untuk menikah, bahwa kau tidak akan mencampuri tentang selera musik saya. Kau suka membaca dan menyendiri, aku suka musik rock dan puisi.

“Ya. Kita bisa saling menghormati, Ken,” katamu saat itu. “Bukankah perkawinan ibarat membangun monumen dari segala yang berbeda?”

Begitu manis. Tapi sekarang semua itu bullshit. Buktinya, kau larang saya mendengarkan musik rock kesukaan saya. Sudah bertahun-tahun saya tidak bisa mendengarkan musik lain, kecuali musik rock. Semua lagu-lagu kesayangan saya kau penjara dalam koper. Kau telah menyiksa saya. Kau, secara psikologis, telah melakukan pembunuhan terhadap istrimu sendiri. Kau telah menghadirkan musuh besar dalam pikiran saya.

Tidakkah kau mengerti, jika saya merasa mempunyai musuh besar saat hamil seperti ini, sama artinya kau sedang mempersiapkan seorang tentara dalam rahim saya untuk berperang melawanmu. Siapkah kau jika bayi dalam kandungan saya ini tumbuh menjadi manusia cerdas, lalu akan menantangmu untuk bertempur? “Saya kira kau telah terlalu banyak membaca dan menyendiri. Kau terlalu kagum dengan hasil penelitian Dr. Frances H. Rauscher dari University of California yang menemukan bahwa rata-rata kecerdasan anak akan meningkat 8 sampai 9 poin setelah mendengarkan Sonata for 2 Pianos karya Mozart. Berulang kali kau mengatakan itu. Padahal itu hanya trik murah dalam strategi menjual kaset.”

Sonil, kau tidak pernah mendengarkan lagu Toto yang berjudul Don’t Chain My Heart. Namun, sekarang ini kau telah merantai perasaan saya dengan sangat sempurna. Adakah, kau ingin balas dendam?
***

Semenjak kehamilan saya berusia tiga bulan, terdapat perubahan dalam susunan kamar tidur. Jendela kayu yang menghadap ke barat, ke arah bukit di seberang sungai kecil itu ditutup rapat dengan tembok. Jendela itu sekarang di pindah ke dinding sebelah timur, menghadap ke jalan kampung yang lebih ramai. Dengan gordin berwarna putih, saya merasa Sonil telah membuat saya sering mual dan muak.

“Untuk apa?” ketika itu Sonil mengulang pertanyaan saya dengan nada sinis.

“Sederhana, Ken. Jendela itu saya hadapkan ke arah timur agar setiap pagi kau memperoleh sinar matahari cukup. Guru TK kita dulu sering bilang, sinar matahari pagi sangat bagus untuk kesehatan tubuh. Dan tentu saja juga bagus untuk janin yang kau kandung.”

“Bohong. Saya tidak sebodoh itu.”

Saya menarik nafas. Sebel. Tidak pernah saya membayangkan hal-hal seperti ini. Hijau pepohonan di lereng bukit kecil itu, ranting-ranting sonokeling yang digesek oleh angin, gemericik air kali yang merdu, dan kecipak ikan lele di kolam dekat sungai itu sudah tidak bisa saya nikmati sambil duduk di jendela dengan mengangkat kaki dan baca puisi.

Jendela sudah terlanjur tidak bisa saya pisahkan dengan lereng bukit, angin, dan kecipak ikan lele yang telah memberi sensasi unik dalam perasaan saya. Jendela dan hijau bukit tak pernah berhenti menghadirkan puisi. Jendela dan angin selalu mengalirkan musik rock dengan irama yang penuh ekstase menghujam ke labirin-labirin jiwa. Ya. Musik dan jendela telah menjadi bagian paling ritmis dalam kehidupan saya.
Tapi, mengapa Sonil tidak paham semua ini dan memisahkan keduanya justru ketika saya sedang hamil. Kejam. Kau jahat sekali, Sonil! Mana mungkin saya mempercayai alasanmu yang demikian simpel?

“Saya sangat mencintaimu, Ken. Termasuk juga anak yang berada dalam rahimmu itu.”
“Tidak. Saya tidak percaya. Saya yakin kau memiliki alasan khusus melakukan ini semua. Dan apa pun alasanmu, kau telah menyebabkan saya seolah-olah mempunyai musuh besar.”

Dia hanya tertawa. “Bukankah kehamilanmu juga telah menyebabkan saya seolah-olah mempunyai musuh besar? Kehamilanmu tidak berbeda dengan sebotol anggur yang kau sediakan untukku dengan dua tujuan. Pertama, kau biarkan saya mabuk dalam kebahagiaan yang melayang-layang. Kedua, setelah itu kau bisa dengan leluasa menarik pisau dan mendaratkannya tepat di kemaluan saya.”

“Sonil, Sonil,” saya ingin tertawa mendengarkan argumentasinya. “Selama ini kau adalah suami yang baik. Sangat baik. Tapi rupanya kau terlalu banyak membaca novel karya Sidney Sheldon. Kau juga terlalu banyak menyendiri sehingga imajinasimu membentuk belantara hutan gelap. Pikiranmu telah dipenuhi oleh teori-teori, teracuni oleh pikiran-pikiran absurd.”

“Semua terjadi karena kau telah menciptakan sistem dalam keluarga ini. Kau telah merasa dirimu mempunyai kekuasaan untuk mengatur cara berpikir di dalam kepala saya.”

“Oh. Telah terjadi salah paham di antara kita. Saya hanya ingin lebih perhatian kepadamu. Tak ada maksud ingin mengaturmu, apalagi membunuhmu. Tak ada keinginan untuk mengontrol pikiran-pikiranmu atau mencampuri ideologimu. Sejujurnya, saya hanya menyukai musik rock dan jendela. Sederhana, bukan? Musik rock membuat perasaan saya lebih tenang dan jendela itu mampu menghadirkan puisi yang membuat hati saya lebih tentram. Tidak lebih dari itu. Saya hanya memerlukan ketenangan dari lingkungan ini agar kehamilan saya baik-baik saja,” saya merasa air mata tak bisa saya tahan.

“Cobalah untuk mengerti.”

“Kau benar. Seorang yang memiliki selera seni, dia akan tumbuh menjadi pribadi yang sentimentil dan pejuang kebebasan yang tangguh dan jujur. Mari kita lihat bersama, apa yang selama ini telah kau sembunyikan di balik kejujuran nuranimu itu. Benarkah kau hanya membutuhkan musik dan jendela, irama drum yang menghentak berdentam-dentam dan sebuah puisi yang mengalir bersama angin? Tapi saya melihat lain. Karena itu saya mempunyai alasan khusus untuk memisahkan kau dengan musik dan jendela,” lanjutnya. “Bukan. Bukan musik dan jendela, melainkan antara kau dengan kecipak ikan lele dan kolamnya.”

Tiba-tiba saya merasa ada petir menyambar dan meledak dalam dada saya. Apa? Antara saya dengan kecipak ikan lele dan kolamnya? Ini pasti bukan teori Sonil. Ia telah mengetahui sebuah kenyataan. Ini sebuah bom waktu yang pasti akan meledak pada saatnya. Sekarang musuh itu semakin nyata dan perang tentu akan berlangsung segera. Muka saya mungkin merah padam, dan Sonil mengetahui kegugupan saya.

“Ayolah mengaku saja dan saya akan memahami keinginanmu. Kau tak usah bertele-tele untuk mengatakan fakta yang sebenarnya. Selalu ada ruang untuk kembali karena kita adalah kesepian yang terus-menerus berputar untuk menemukan tempat. Kita memang berbeda, tetapi kesepian selalu berwajah sama,” saya merasa ucapan Sonil menembus hati saya. Brengsek, kau Sonil. Lagi-lagi saya tidak berkutik di depanmu. Lagi-lagi saya kalah cerdas denganmu. Seperti pencuri tertangkap, saya mempunyai tanggung jawab untuk mengaku.

Saya mengangguk lembut.

“Berapa kali kau melakukannya dengan Sonya, yang tak lain adalah adik iparmu sendiri?" tanyanya menyelidik.

Sudah saya duga pertanyaan itu akan keluar dari bibir Sonil. Tapi tidak! Sekalah apa pun saya tidak akan menceritakannya kepada Sonil. Saya tidak akan menceritakan
peristiwa di bibir kolam bersama Sonya di antara kecipak ikan-ikan lele yang membuas pada malam hari. Rembulan yang redup, awan yang membayang membentuk siluet hitam muda pada air kolam, angin yang mendesau mengalirkan hawa dingin, tetapi membuat darah kami semakin membara.

“Sudah sepantasnya kalau kau hamil, Ken. Delapan tahun kau berusaha untuk memiliki seorang anak dari rahimmu sendiri,” suaranya terdengar pedih. “Kelak kalau bayimu lahir, biarkan saya menjadi ayahnya agar saya bisa memahami kekalahan ini.” ***

Patiayam, 15 Maret 2003

0 comments: