Thursday, November 13, 2008

Perpisahan Dengan Senja

Cerpen Jimat Kalimasadha

SENJA yang selalu tersuruk dalam kebisuan malam tak pernah dia lepas dengan sia-sia. Perpisahan dengan senja menjadi saat paling penting, sebab ia merasa jangan-jangan esok hari tak pernah bisa lagi bertemu dengan senja untuk selama-lamanya. Hanyalah senja yang bisa ia nikmati dengan seluruh indra dan jiwa sambil duduk menghadap ke barat di depan pintu loteng rumahnya setelah mandi sore dengan air hangat yang direbuskan oleh anak perempuannya. Senja, ia selalu berpikir begitu, adalah batas yang tak pernah bisa ia pahami.

Warna emasnya memantul di atas daun dan ranting pohon jati, menyepuh batu cadas di lereng bukit, menyiram langit dengan cahaya gemilang merah kekuning-kuningan, lalu berangsur-angsur menghitam. Hitam itu berubah gelap, dan gelap itu menjelma kelam. Benarkah malam selalu ditandai dengan hitam, gelap dan kelam? Dan senja yang ia tunggu sepanjang siang selalu tak berdaya menembus kerudung malam dan meluruh begitu saja, pelan-pelan namun pasti. Pada detik terakhir perpisahannya dengan senja selalu ia meneteskan air matanya.

“Mengapa aku mencintainya lebih dari yang aku punya. Bukankah mencintai yang berlebihan seperti ini justru bisa membunuh diri sendiri,” kalimat itu pernah ia ucapkan, ketika ia menyadari suaminya telah berselingkuh dengan wanita malam, bernama Maria (32 tahun). Tapi itu dulu. Waktu itu suaminya belum begitu terhanyut dalam dekapan Maria. Ia masih yakin lelaki itu akan kembali kepada dirinya dan meninggalkan wanita yang tak pernah berhenti ia sumpah serapahi sepanjang siang dan malam.

Ia sering berbicara dengan dirinya sendiri, di manakah sebenarnya batas-batas mencintai seorang lelaki. Ia mencintai dengan seluruh perasaan dan pikiran. Tetapi cintanya terhadap lelaki yang telah menjadi suaminya selama dua puluh tahun itu tak bisa ia genggam dengan utuh. Lelaki itu lepas belaka seperti seekor ayam jago diterkam biawak pada saat usianya menjelang tua, ketika seorang anak perempuannya sudah mentas, sudah berkeluarga dan memberinya cucu.

“Aku telah membuat kesalahan. Mengapa aku mencintainya dengan seluruh perasaan dan pikiran?” tanyanya. “Aku menyesal mengapa aku ingin mencintainya dan memilikinya.”
Maria hanya seorang wanita malam. Apa sih yang menarik dari seorang wanita macam ia? Wanita yang hanya dapat melewati malam dengan keremang-remangan dan selebihnya adalah gelap dan kelam. Kelam! Wanita sampah yang memungut sisa-sisa harga dirinya di kasur penginapan murahan, di gelas bir yang mengkristalkan kemabukan dan keringat nafsu yang membusuk di sela-sela rambut ketiak. Benarkah laki-laki mencintai wanita hanya karena penampilan seksualnya? Ah. Tapi wanita yang selalu duduk di tepi senja itu hanya menduga dan tak pernah menemukan jawaban yang sesungguhnya.

“Songa benar-benar telah meninggalkan aku dan anak cucunya,” gumamnya lirih.
Senja berkilat merah membersit di kaca nako. Bukit jati yang berhadap-hadapan dengan lotengnya membentuk siluet aneh di lereng sebelah timur sementara awan berbentuk sisik-sisik ikan itu tersaput oleh warna kemilau menyemburatkan garis-garis cahaya yang meredup. Senja memang selalu menyimpan rahasia dan tak pernah ia pahami seluruhnya sebab malam dengan warnanya yang hitam kelam selalu lebih cepat datang dari yang diinginkan. Pada detik-detik terakhir perpisahan dengan senja, ia tak kuasa menahan air mata.

Garis-garis cahaya yang melesat seperti panah akhirnya juga harus menyerah kepada malam. Sorot mata Songa yang dulu menyerupai anak panah itu akhirnya juga luntur oleh aliran pesona wanita malam. Kenapa? Ya, kenapa? Matahari juga tak pernah bisa menaklukkan jari-jari malam yang jahanam itu. Malam selalu melukai perasaannya dengan pisau hitam yang disepuh oleh kilauan senja dan memuncratkan darah kebencian pada cinta, pada lelaki bernama Songa, pada wanita malam bernama Maria, dan pada malam itu sendiri yang selalu hitam, gelap dan kelam. Kenapa kehidupan malam selalu ia rasakan lain dan menyebabkan hidupnya terlunta-lunta? Ia merasakan malam sebagai sebuah dunia yang kejam dan menguakkan kenangan yang sakit dan menyakitkan.

“Seandainya Tuhan tidak menciptakan malam, aku mungkin tidak akan kehilangan kedua orang tuaku pada usia yang masih sangat muda, tidak akan kehilangan Dikky, adikku yang sangat kucintai, dan tidak kehilangan suami yang sangat aku sayangi...
Malam membuatku tak bisa tidur dengan tenang, membawaku tak bisa menikmati mimpi indah, merenggutku hingga tak bisa berhenti untuk tidak menghujat,” teriaknya dalam hati. Malam telah menjadi pertanda buruk dan ia sumpahi dengan geram.

Wanita yang duduk di depan pintu loteng rumahnya itu mengenang sambil menitikkan air mata. Suatu malam gerimis ketika senja baru saja luruh dan mengabur dari kaca belakang VW yang dikendarai oleh ayahnya. Lampu-lampu mobil, baliho, billboard reklame di sepanjang jalan raya pantura mulai menyala. Ayah, ibu, dan si kecil Dikky, tiga puluh tahun yang lalu, pulang dari resepsi pernikahan kenalan ayahnya di Pemalang. Memasuki kawasan Hutan Roban, gerimis rintik-rintik berubah menjadi hujan deras. Jalanan berkabut, jarak padang semakin terbatas, dan entah kenapa: lampu mobil mendadak padam dan kecelakaan maut itu tak bisa dihindarkan. Hanya itu yang ia ingat selain kematian ayah, ibu, dan Dikky, ketiga orang yang sangat ia cintai lebih dari segala yang ia punya. Ia baru berusia 10 saat itu, lalu, sebagai anak yatim piatu ia dibesarkan oleh pamannya sampai lulus SMA.

Usia 20 ia dinikahkan dengan Songa, lelaki baik-baik, lima tahun lebih tua, tempat ia menyandarkan hidupnya, pengganti orang tuanya, pelabuhan cintanya, teman hidupnya, pasangan hidup untuk meneruskan keturunan keluarganya, penerus pohon sejarah hidupnya, meskipun ia tak bisa benar-benar melupakan kekejaman malam yang telah membentuk kenangan buruk dalam hidupnya. Setidaknya-tidaknya selama hidup bersama Songa, ia merasa tidak sebatang kara. Ia sangat mencintai lelaki itu, sebab hanya kepada lelaki itu ia bisa mengalirkan gairah dan semangat mencintai. Memang hanya kepada lelaki itu. Songalah, satu-satunya lelaki yang paling berhak atas cintanya! Songalah laki-laki yang paling lama ia miliki.

Akan tetapi, penyesalan selalu datang terlambat. “Lelaki memang tak perlu dicintai dengan segenap hati dan ketulusan,” ia ingin mendamprat dirinya sendiri.
Kini ia menjadi wanita yang paling membenci malam. Malam telah benar-benar mengantarkan dia ke dalam kesendirian. Malam telah menyebabkan dia tak bisa membedakan antara kesendirian dan kesunyian, cinta dan kehilangan, kesedihan dan tangis, air mata dan kepedihan. Semuanya datang dan pergi pada saat yang sama, yakni ketika selubung malam membunuh kemilau senja, dan senja menjadi batas perpisahan yang teramat memilukan.

“Pada akhirnya akulah korban malam yang paling celaka. Akulah wanita yang terbunuh oleh rasa sepi. Tak ada lagi yang datang padaku, mendekapku, menyatakan sayang dan cinta. Aku merasa sebatang kara, seperti saat ditinggalkan oleh ayah, ibu, dan Dikky adikku. Kegelapan malam memang tidak mau mengerti diriku, hidupku, dan nasibku. Tidak mau mengerti dan tidak bisa dimengerti. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi dan tidak dimiliki siapa-siapa lagi. Rasa-rasanya sepi itu pasti bakal mencungkil dengan pedih dan perih dan menggigilkan batin,” keluhnya.

Songa, adakah kau pernah merasakan ini semua?
***

SUATU hari ia duduk sendiri di antara perbatasan senja. Sayup-sayup ia mendengar deru angin yang membawa gemuruh malam di antara daun-daun jati menghitam. Senja yang terbenam itu menjadi perpisahan syahdu. Ia menangis tapi ia tidak tahu mengapa harus menangis. Ia tidak tahu apakah tangis dan air mata masih memiliki makna. Sebab, tangis tak akan bisa merubah apa pun. Tangis tak bisa mengembalikan Songa dari pelukan Maria. Tangis tak akan dan tak pernah bisa membunuh kesepian dan kesendiriannya. Tak ada bedanya ia menangis dan tidak menangis. Ia meneteskan air mata demi tangis itu sendiri yang memang ingin mengalir seperti peristiwa alam biasa.

Ia sebenarnya tidak ingin berpisah dengan senja. Mestinya senja tak harus tenggelam dan menjelma malam yang menikam. Seharuskah ia tidak usah cemburu kepada Songa, yang pada malam-malam cerah seperti ini bermesraan dengan Maria, berdekapan erat, bercumbu dengan sangat sophisticated hingga bermandi keringat dalam selimut dingin yang penuh gairah. O, malam jahanam, sebegitukah engkau menggoda perasaanku hingga aku benar-benar lumpuh dan mati menggigil. Ia lelah menghadapi pertempuran dan gempuran perasaannya sendiri.

“Apakah Songa masih melakukan kebiasaannya seperti saat-saat indah dulu: memutar Still Loving You dari Scorpion untuk mengiringi ritual percumbuannya? Jika itu kalian lakukan, o, sungguh bangsat, kau Songa! Bangsat kau Maria!” bibirnya bergetar, tapi tak sepatah pun kata keluar dari mulutnya.

Malam terus bergerak lamban. Bayangan-bayangan berkelebat dalam pikirannya semakin mendesak-desak. Suara burung hantu dari bukit di seberang kamar lotengnya meyakinkan betapa malam adalah selubung misteri yang menggelisahkan.

“Aku sangat tak pantas mencemburui burung hantu itu yang selalu wajahnya lebih berseri-seri dengan bulu dan sayapnya terbalut oleh merahnya darah setelah membunuh mangsanya di bawah pantulan rembulan berwarna keperakan,” ia berusaha memejamkan mata, namun tak pernah bisa tidur. Ia ingin bisa seperti burung hantu, menyongsong malam dengan seluruh kegairahan hanya karena akan bertemu dewi malam untuk menumpahkan kerinduannya.

Tapi pada sisi yang lain ia sadar bahwa burung hantu pun juga senasib dengannya. Ketika pagi hari datang dengan cahaya keemasan menyingsing dari arah fajar, burung hantu itu pasti merasakan hal yang sama. Dengan sayapnya yang lunglai dan mata yang kehilangan ketajamannya ia harus pulang untuk menunggu kembali datangnya malam dan sang bulan sambil menyumpahai matahari.

Jadi apa pun alasannya, ia memang tak senang atas kehadiran malam seperti halnya burung hantu membenci siang. Malam selalu merampas keindahan senja yang tak pernah berhenti ia kagumi dan cintai sepanjang hari dan sedalam cinta yang ia punya. Tapi malam barangkali tidak sekedar gelap dan kelam. Ada rahasia yang tak pernah mampu ia pahami. Seperti Maria yang selalu ia sumpahi, seperti Songa yang selalu ia rindui dan seperti senja yang selalu ia cintai. Mengapa semua ini harus ada?**

Patiayam-Kudus, Juni 2004

0 comments: