Friday, November 7, 2008

Kabut di Daun Jendela

Cerpen Jimat Kalimasadha

MALAM merambat di atas daun-daun ketela, mengalirkan kegelapan dan kebekuan. Kesenyapan membisikkan perasaan bimbang di hati Kartini. Ia sedang menunggu seseorang. Sesekali dadanya berdebar kencang. Degup jantungnya terdengar berdenyar tak karuan. Tak ingin ia menunggu lebih lama lagi. Tapi, pintu jendela samping yang bersebelahan dengan jalan gang tidak terdengar juga diketuk oleh seseorang.
Sudah dua kali pintu itu dibukanya sendiri. Ditengoknya malam di luar, makin kelam dan keras. Daun pintu itu ditutup kembali dengan nyaris tanpa suara. Tak ada siapa-siapa di luar. Hanya suara angin sesekali mengesek daun-daun bambu, kemudian lenyap. Ia menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya terpejam tapi pikirannya tak bisa ia tidurkan.

“Tidak. Pasti dia tidak datang malam ini,” bisiknya dalam hati.

Wajahnya menggambarkan kekecewaan. Ia memiringkan tubuhnya, lalu kembali tergolek, dan matanya memaku ke langit-langit kamar. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya seperti mengeluarkan kegelisahan dari dinding batinnya.

“Adakah malam ini engkau datang, Kang Songa?” harapnya berulang-ulang. “Aku kedinginan. Aku tak bisa tidur malam ini.”

Dan gerimis pun tiba-tiba menitik di genting kaca, menciptakan garis-garis liar. Malam menjadi semakin berkabut. O, siluet kabut itu yang selalu memupuskan harapan Kartini kepada Songa. Pikirannya menembus daun jendela dan menyusup di sela-sela gerimis. Tapi lautan kabut terlalu pekat. Batinnya mengerang memanggil-manggil Songa. Ia ingin sekali lelaki itu datang dan mengetuk daun jendela kamarnya.

“Aku kedinginan. Aku tak bisa tidur malam ini, Kang Songa,” kata batinnya berulang-ulang. Diam-diam ia merasa cemburu dengan Yu Tikem, istri Songa. Ia membayangkan pasangan suami istri itu sedang bercengkerama.

Apakah dia lupa akan janjinya sendiri? Angin yang masuk melalui lubang jendela semakin menambah penantian lebih menggelisahkan. Waktu terus terulur. Ia ingin memastikan bahwa laki-laki itu menepati janjinya.

“Aku akan datang besok malam. Tunggu aku mengetuk daun jendelamu,” janji Songa pada malam sebelumnya sambil mengenakan sarungnya.

Tini mengangguk.

Dengan keringat membasahi leher dan dada, laki-laki itu menghilang di kegelapan setelah menerkam tubuh Tini dengan garang dari segala sisi. Suami Yu Tikem itu bagai menyimpan lahar kejantanan. Tini dibuat luluh lantak di tengah pusarannya.

“Kang Songa belum tua, meski dah beranak dua…,” ujar Kartini sambil pura-pura mencabut rambut ketiak Songa. Ia tersenyum. Tubuhnya yang gempal itu berguncang.
Dibanding Yu Tikem, saudara sepupunya itu, Kartini jauh lebih muda. Tak pernah ada yang mengira ia telah begitu jauh menjalin hubungan dengan Songa. Selama ini anak-anak muda kampung hanya mengira, dari cara jalan Kartini, menunjukkan ia sudah tidak perawan.

Dua kali ia gagal menikah. Terakhir seorang pemuda dari desa Jambean bermaksud melamarnya. Entah mengapa, laki-laki itu pergi begitu saja setelah membawa lari sepeda motornya. Sebelumnya, laki-laki itu berjanji akan datang bersama kedua orang tuanya untuk melamar, tapi setelah ditunggu-tunggu ia tidak pernah datang. Sampai sekarang.

Setengah tahun kemudian, Kartini dikabarkan akan dinikahi oleh Karmin tetangga dekat situ. Sayang, orang tua Karmin tidak setuju atas rencana tersebut. Alasannya, hari weton mereka tidak cocok. Kartini kehilangan harapan. Terkadang hidup itu memang seperti anak kecil yang sedang membuat istana pasir di pantai. Begitu hampir jadi, tiba-tiba ombak datang dan menghancurkan semua. Segalanya harus dimulai dari awal lagi, sementara usia terus melaju. Malam pun semakin dalam.
Anjing Tini tiba-tiba menyalak. Jantung perempuan itu berjingkat. Tak lama kemudian pintu jendela diketuk seseorang.
***

YU Tikem letih setelah memecah kayu bakar yang baru saja dipungutnya dari hutan. Diletakkannya parang kecil yang digunakan untuk memecah kayu di sela penjepit dinding bambu rumahnya. Ia duduk termangu di lincak teras. Bau masakan Kartini tercium dari rumahnya menggerakkan rasa lapar. Dari rumah Tini yang hanya berjarak beberapa rumah, terdengar suara Sadi dan Sani tertawa-tawa. Sejak kecil kedua anak itu memang akrab dengan Bu Liknya. Keduanya selalu dititipkan ke Kartini, jika Tikem dan Songa pergi ke ladang atau mengambil kayu rencek di hutan.

Yu Tikem memang tidak seperti dulu. Wajah tirusnya tampak lebih kurus dengan rambut yang jarang disisir. Berbeda dengan ketika masih bekerja sebagai buruh rokok di pabrik, ia masih sering berdandan. Begitu anak-anaknya lahir, ia memutuskan keluar dari pabrik. Ia memilih momong anak-anaknya sambil membantu suaminya mengolah ladang. Hari-harinya habis untuk kedua anaknya dan bercocok tanam. Pikirannya terkuras untuk ladang, pupuk, pestisida, dan menjual kayu rencek untuk sekedar mendapatkan uang jajan Sadi dan Sani. Kalau sudah begitu, apa arti rasa letih dan capai?

Siang itu suaminya belum pulang dari ladang. Ia juga belum memasak untuk makan siang. Terdengar Sadi dan Sani berteriak-teriak memanggil dari rumah Bu Liknya. Mereka tidak mau pulang sendiri. Tikem akhirnya pergi ke rumah Tini masuk melalui pintu dapur.
Kartini sedang menggoreng putren. Aroma sambal goreng jagung muda itu membuat Yu Tikem menelan ludah.

“Sarapan dulu, Yu,” Kartini menawari. “Tuh, sayurnya. Ayo, ambil piring.”

Tikem tersenyum. Ia tidak langsung menyambut tawaran Tini. Ditatapnya wajah sepupunya itu dalam-dalam. Perasaannya bergetar. Tubuh adiknya itu seperti tenggelam dalam sorot matanya. Tini bukan hanya cantik, tapi juga singset. Dia masih muda meski para tetangga mencibir dia parawan tua dan sudah tidak perawan lagi.

“Kok nggak ambil piring? Coba saja sambal gorengnya.”

“Aku baru memperhatikan caramu memasak.”

“Kenapa?”

“Lebih baik kamu cepat-cepat menikah, Tin,” kata-kata itu meluncur begitu saja.

“Ah, Yu Tikem. Mana ada laki-laki yang mau denganku?”

“Jangan pernah bilang begitu. Namanya itu putus asa. Setiap orang itu pasti berjodoh. Tak bisa kamu terus-menerus sendirian. Ada kebutuhan batin yang jauh lebih penting dari sekedar materi. Kaawinlah, biar masakanmu lebih berarti, biar kamu merasa menjadi perempuan. Wong wadon akeh godane, Tin.”

Tini tersentak. Keringat tipis menimbuni dahinya. Perasaannya tak karuan, bergolak seperti ada yang mengeluarkan isinya. Batinnya meraba-raba. Jangan-jangan Yu Tikem tahu hubungannya dengan Songa. Rasa risau hatinya semakin membakar.

“Laki-laki tidak ada yang setia,” celetuknya.

“Tidak semua. Buktinya, bapaknya Sadi juga masih setia denganku.”

“Hanya Kang Songa yang bisa setia.”

Tikem tersenyum. “Bisa-bisanya kamu….”

“Aku sudah merasa bahagia seperti ini, Yu,” jawabnya sambil menatap Tikem dalam-dalam.

“Tapi apa penilaian tetangga? Kamu dibilang perawan tua, nggak laku dan macam-macamlah.”

“Itu hak mereka, juga hak Yu Tikem untuk bicara.”

“Aku hanya memberi saran.”

“Ah.”

Sadi dan Sani terdengar riuh. Mereka bertengkar di ruang tamu. Suaranya gaduh. Mereka bermain kejar-kejaran. Naik ke atas meja, menendang vas bunga dan terdengar suara barang pecah. Ketika Yu Tikem mengajaknya pulang, mereka malah masuk ke dalam kamar Tini. Bocah kecil itu meloncat-loncat di atas tempat tidur. Mereka lari ke sana-sini menirukan tokoh kartun Tom and Jerry.

“Ayo pulang. Bapakmu sudah datang. Nanti kamu nggak diajak ke pasar,” bujuk ibunya dengan suara ditekan. “Nanti Mak Lik marah!”

Tikem makin sebel dipermainkan anak-anaknya. Dia berusaha menangkap Sadi dan Sani. Tapi, niat itu mendadak diurungkan. Ada yang menyentak penglihatannya. Sebuah benda berwarna kuning. Dengan perasaan aneh, benda itu dipungutnya. Wajah perempuan itu seperti tak percaya, sebab dia tahu persis apa yang tengah dipengangnya. Singlet ini adalah milik suaminya yang dipakai tadi malam sebelum suaminya pamit ke rumah Noko untuk nonton siaran langsung Liga Inggris.

Digenggamnya kain tersebut dengan kedua tangannya. Ia tarik bagian lengannya hingga menimbulkan suara keras. Sadi dan Sani menyaksikan dengan mata lucu. Kemudian, disambarnya tubuh kecil itu dan dipagutnya dalam pelukan. Serta-merta Yu Tikem menangis, membayangkan sebuah peristiwa yang sangat menyakitkan. Matanya basah samar-samar menyaksikan kabut yang masih tersisa di daun jendela kamar adik sepupunya.***

Patiayam, musim hujan 2007

0 comments: