Thursday, November 6, 2008

Senja Lewat Begitu Saja

Cerpen Jimat Kalimasadha

KEINGINAN perempuan tua itu hanya memiliki rumah yang agak layak, berdinding bata, tidak bocor, dan kuat menyangga angin yang sewaktu-waktu menghantam dari atas bukit di sebelah rumahnya. Ia tidak ingin apa-apa, kecuali tidur dengan lebih tenang dan memanjatkan doa dengan lebih khusuk pada tengah malam.

“Rasanya, sekarang aku lebih tahu,” gumamnya lirih. Kalimat itu berhenti dan matanya menatap genting di atas tidurnya.

Hujan belakangan ini selalu disertai angin kencang, sungguh ini benar-benar melahirkan perasaan bahwa sewaktu-waktu atap atau dinding rumahnya akan terbang bersama angin dan ia akan mati rata dengan rumah tanpa sempat menyebut nama Tuhan. Malam, hujan, dan angin selalu membuncahkan kesunyian, kesendirian, dan aroma pada kematian yang kerap ia rasakan kepak sayapnya bergemuruh di atas tidurnya.

“Adakah anak-anakku pernah berpikir bahwa aku akan mati dengan cara yang sangat tragis, tertimpa oleh reruntuhan rumah tua ini?” tanyanya pada dirinya sendiri. Tetesan air hujan itu terlalu dingin menembus selimut tipis warisan dari suaminya yang meninggal sepuluh tahun lalu. “Mengertikah engkau, wahai Sangka dan Kala bahwa di bawah ranjangku yang reyot atau di bawah sajadahku mungkin ada seekor ular melingkar karena lantai lembab dan siap menerkam tanganku yang gemetar?”

Genting rumahnya bocor di sana-sini. Air hujan merembes dari genting kerpus menetes tepat di atas lipatan pipi tuanya. Air hujan seringkali lalu menyatu dengan air mata dan ia usap begitu saja setelah berpendar dengan sinar bola lampu sepuluh watt. Perempuan tua itu ingin peristiwa semacam ini hanya terjadi dalam mimpi. Tetapi, alangkah kagetnya, ternyata pikirannya masih terjaga, matanya belum juga tidur meski telah terpenjam. Di luar hujan membentuk tirai kabut, menyemburkan muntahnya dengan banal dalam kegelapan seperti jari-jemari langit yang menari liar. Angin mendasau, malam merapuh.

“Rumah ini harus kalian ingat adalah tempat aku pertama kali melingkarkan tangan kehangatan ketika kalian belum mengenal segala macam dosa. Sebelum engkau mengetahui bahwa aku sebenarnya memang seorang ibu yang pantas engkau kutuki, anak-anakku. Tapi, apa bedanya engkau dengan ayahmu? Kalian tidak benar-benar mencintai aku. Aku hanya semacam terminal yang engkau singgahi dengan caramu sendiri,” perempuan itu menggeram.

“Songa,” suara itu tiba-tiba mendesis di bibirnya, lalu ia telan kembali. Ia tidak ingin mengingat almarhum suaminya. Ah, suami! “Brengsek! Pantaskah aku menyebut Songa sebagai suamiku? Sejak kapan lelaki itu menikahiku?”

Sebutan suami ia kira hanyalah semacam niat baik agar secara sosial hidupnya lebih tenteram. Perempuan itu tersenyum sinis. “Kenapa dulu aku membiarkan Songa tidak menikahiku secara sah, atau setidaknya menikah siri saja?” batinnya marah. “Lalu, kenapa aku juga mengizinkan anak-anakku menikah dengan perempuan-perempuan yang tidak pernah menaruh kebaikan padaku?”

Ia mendadak bangun dari tempat tidur ketika cahaya petir melesat melalui lubang angin dan beberapa detik kemudian suara geledak seperti menghantam batu besar di atas bukit sebelah rumahnya.

Atau, niat baik itukah yang menjadi pokok persoalannya? Ia menarik selimut dan mendekatkan ujung kain putih berseret hitam itu ke dekat hidung. Di bawah selimut seolah ia ingin mendapatkan perlindungan untuk tubuh dan batinnya yang senantiasa sunyi dan rapuh. Ia sebenarnya tetap kuat tetapi tangannya gemetar, dadanya bergetar. ”Ya, awalnya barangkali karena niat baik. Sekarang aku tahu, bahwa niat baik sering menjadi penyebab situasi buruk semacam ini,” perempuan itu menguap.
Dulu itu ia hanya percaya pada keindahan kata, keyakinan janji, manisnya cumbu rayu, dan bara cinta yang menyala-nyala. Songa begitu pintar mengalihkan perdebatan menjadi diskusi intim dan mengalirkan sungai jernih di dalam dadanya, meliuk-liuk seperti tembang Sinom Parijotho atau Silk Road Kitaro.

Ia amat tenang menghadapi tuntutan perempuan itu, ia tidak hanya menaklukkan pusat cinta, melainkan juga menaklukkan kata-kata yang menjadi senjatanya. Buat apa surat nikah, begitu katanya, lembaga pernikahan tak ubahnya seperti pelabuhan sepi sekedar untuk transit sementara. Orang-orang terus mengalir meninggalkan pelabuhan lama dan menemukan pelabuhan baru.

“Lembaga itu lama-kelamaan merapuh dan pelan-pelan akan hancur karena ruh perkawinan sedang dikebiri,” kata Songa seraya membelai rambutnya. Lembut. “Dan kita memiliki ruh yang demikian kokoh, Sayang. Apa itu? Tidak lain adalah cinta yang merimbun dalam jiwa kita. Kita tidak memerlukan lembaga bernama pernikahan. Pernikahan hanya mendorong kita saling berkhianat, membuat hubungan kita cepat hambar, dan mempercepat kita mencari pelabuhan baru.”

Bullshit! Kalimat-kalimat itu keluar dari mulut Songa dengan lembut dan menyakinkan, menyerupai untaian asap rokok berputar-putar di udara, dan perempuan itu terbius oleh racun nikotinnya. Saat itu juga musim penghujan seperti ini. Sepasang manusia itu kemudian berpelukan, lumat dalam danau cinta (o, cinta ataukah nafsu, nafsu itukah cinta?) dan tenggelam dalam selimut putih berseret hitam, dan tak terasa mereka telah begitu lama melewati waktu. Hingga senja meluruh di bukit sebelah rumah, di antara pohon-pohon jati yang daunnya mulai menghijau setelah meranggas dimakan ulat.

“Sekarang aku tahu, Songa,” gumam perempuan itu lirih. “Bahwa semua ini sudah menjadi nasibku. Kutukan takdir ini harus aku jalani hingga aku menyerah. Di sini ini juga, rumah tempat kau menaklukkan cinta dan kata-kata hingga aku bertekuk lutut.”
Sampai suatu ketika, ya sampai usia tak mampu menjerat senja, dan senja lewat begitu saja.
***

MUSIM penghujan nyaris lewat. Perempuan tua itu tetap sendiri, menatap lintasan cahaya matahari sore yang menerobos di atas tempat tidurnya, di antara papan jendela yang telah pecah, daun pintu yang lapuk, dan genting kaca yang tertutup oleh sawang-sawang. Rumah tawon yang menggantung di kayu bandar telah kosong. Anak-anak tawon itu kini menginjak dewasa dan meninggalkan rumahnya.

Ia berpikir, barangkali saja si induk tawon itu mengalami nasib yang sama. Anak-anaknya menikah dengan tawon betina yang tidak menaruh kebaikan kepadanya. Ia di tinggal begitu saja, dengan tubuh yang semakin merapuh, dengan kaki gemetar, memasuki usia tua dengan mata kabur, dan akhirnya mati bersama reruntuhan rumahnya sendiri.

“Alangkah indahnya tragedi ini,” pikirnya. “Penderitaan harus bisa aku nikmati dengan ikhlas karena keduanya demikian kabur batasnya.”

Jika benar hujan pun akan ditinggalkan oleh gerimis karena musim akan berganti, suatu ketika badai pun akan dikhianati oleh angin dan belantara siang dipisahkan oleh senja. Perempuan tua itu semakin tahu, tak perlu resah pada yang bakal tiba, dan ia juga tidak perlu khawatir seandainya kelak anak-anaknya tak kembali.
Sore itu mendung datang dari langit barat laut mirip asap tebal, hitam dan kelam.

Mungkin saja ini hujan terakhir tahun ini. Angin menggiring awan dan menyentak bukit, hingga gemuruhnya berhamburan di lembah bawah. Mungkin ini hujan terakhir, tetapi mana? Setetes pun hujan belum juga turun. Angin, ya angin itu, yang semena-mena mencelakai awan. Kawanan mendung itu pelan-pelan takluk pada kekuatan dan keberingasan angin, mereka ikut terbang dan hilang.

Perempuan tua itu merasakan ada angin beringas menukik meninggalkan gemuruhnya. Ia mendengar getarannya dengan begitu jelas. Angin beringas itu keluar dari komposisi orkestra belantara di bukit kecil sebelah rumahnya. Ini bukan angin biasa, ini tidak seperti biasanya. Tidak! Seharusnya angin ini tidak melesat sendirian dan keluar dari ikatannya. Perasaan perempuan itu, atau bisa jadi intuisinya, tersentak seketika. Ia sedikit mengumpat, tapi segera ditelan dan cepat-cepat menyebut nama Tuhan.

“Kenapa Engkau, Tuhan, sangat suka menciptakan pengkhianatan?” tanyanya.

Lalu ia merasa sakit sekali. Dan kemudian tidak merasakan apa-apa.
***

Orang-orang masih menyaksikan rumah tawon melayang-layang di udara. Hujan tidak jadi turun, langit kembali terang, senja mulai merayap perlahan-lahan. Angin mereda, sisa-sisa keberingansannya tak cukup menerbangkan rumah tawon ke tempat yang lebih jauh.
Rumah perempuan tua itu telah rata dengan tanah. Tiang penyangganya patah, dinding kayunya ambruk, bandarnya ringsek, atapnya sebagian terenggut oleh angin, dan sawang-sawang yang menghiasi langit-langit kamar dan genting dibawa kabur oleh angin beringas tadi.

Orang-orang mengira perempuan itu tewas. Lama sekali ia tidak sadarkan diri. Untungnya, hanya betis kirinya yang terluka tertimpa kayu usuk. Mereka menggendongnya ke tempat yang lebih lapang. Lukanya dibalut dengan kain putih, darahnya mengental, tapi ia bergeming saja. Beberapa wanita mengipasi ubun-ubunnya bergantian dan memanggil-manggil namanya dengan suara lirih.

“Mbah Laila, Mbah Laila, Mbah Laila….”

Keheningan seperti menetes dari langit. Orang-orang terpesona begitu melihat mata redup itu membuka. Wajah penuh garis senja itu sedikit tersenyum. Tenang sekali. Angin juga berhenti mengalir, langit berwarna emas dari cahaya matahari yang menelusup ke rumah malam.

Mbah Laila minta bangun. Kini ia duduk membelakangi senja, meminum teh hangat yang diberikan oleh seorang perempuan tetangga. Kehangatan menjalari pembuluh darahnya. “Bagaimana nasib rumah tawon kosong itu?” tanyanya seperti mengigau. Tangannya gemetar, kakinya ingin bergerak tapi rasa sakit tak kuasa ditahan. Ia menggigit bibir. Orang-orang berbisik karena bingung mendengar pertanyaannya.

Perempuan tua itu memandangi rumahnya yang rata dengan tanah. Mulutnya membisu, hanya matanya yang berkaca-kaca, berpendar dengan cahaya rembulan. Senja benar-benar telah lewat, hilang ditelan malam.

Semenjak itu sampai sekarang ini perempuan tua itu selalu duduk di situ, membelakangi senja, seperti seseorang yang tengah menunggu.***

Patiayam, Januari 2007

0 comments: